Kelemahan Bahasa Kita – indhie.com

Kelemahan Bahasa Kita

bahasa indhie.com
Ilustrasi (foto: independent

Nirwansyah Putra
~ indhie


Saya terbayang Indonesia ketika menonton sebuah film Malaysia, Anakku Sazali. Film yang dibintangi oleh Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh –orang lebih mengenalnya P. Ramlee—bercerita soal kisah Hassan, seorang miskin yang berubah nasibnya menjadi penyanyi terkenal dan kaya raya. Karena derita itu pula, dia memanjakan anaknya, Sazali, yang kemudian durhaka kepada dirinya. Dalam film itu, ada lagu yang menarik, yaitu Tiada Kata Secantik Bahasa. Tentu bukan lagu itu yang dibicarakan, tapi soal kelemahan mendasar bahasa kita selama ini.

Saya maksudkan Indonesia itu adalah Hassan. Dia anak yatim piatu, bekerja sebagai babu dan kemudian bekerja keras menuju kesuksesan. Indonesia waktu lampau adalah sebuah kerja keras menuju pintu kemerdekaan. Berdarah-darah. Kita sama sekali tidak punya orang tua dan berjalan dengan diri sendiri, tanpa bantuan. Sebagian sejarawan mungkin akan mengatakan soal politik etis ala kolonial Belanda yang dikatakan membantu menumbuhkan cita-cita nasionalisme di sebagian orang Indonesia. Tapi apakah benar begitu? Saya tidak tahu persis.



Tapi, ada atau tidak ada politik etis Belanda, gelora menuju kemerdekaan itu telah tumbuh dan hidup jauh sebelum Belanda menginjakkan kakinya di sini. Bagaimanapun, kemerdekaan dari kekuasaan yang menindas dan ketidakadilan adalah kodrat universal yang dirasakan dan dimiliki oleh setiap orang sejak dulu. Kisah nabi-nabi dapat menjadi contoh terbaik. Ibrahim melawan Namrud, Musa kepada Fir’aun, hingga Muhammad pada kebuasan suku Quraish waktu itu.

Itu pertama. Kemudian, anak-anak Indonesia pasca kemerdekaan mempunyai kemiripan dengan Sazali. Kesuksesan itu hanya dirasakan sebentar dan sedikit saja. Misalnya pada proses pemilu, banyak yang bilang pemilu yang jujur dan adil itu hanya terjadi pada Pemilu 1955. Setelahnya, pemilu dipenuhi kecurangan dan menjadi legitimasi demokrasi untuk kekuasaan. Indonesia pasca kemerdekaan telah dipenuhi oleh proses yang mendurhakai cita-cita kemerdekaan itu sendiri.

Ada kesuksesan lain? Tentu. Tapi lihatlah perekonomian kita hanya menguntungkan kaum sepihak saja. Si kaya makin kaya dan si miskin tetap terpuruk. Padahal dulu, sesuai dengan kesepakatan dalam sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kita sepakat kalau kesejahteraan mesti dibagi-bagi. Tidak ada yang terlalu kaya dan mencolok dan tidak ada pula orang yang kelaparan. Bahasa seperti ini: “pemerataan dan desentralisasi kekuasaan”, nyatanya tidak benar.

Anak-anak bangsa pasca 1966 menyaksikan Soekarno yang dulu dipuja-puji telah menjelma menjadi diktator tunggal. Banyak pemberontakan yang substansinya adalah ketidakadilan pembangunan. Soekarno berkuasa dengan kuku besinya, membredel pers, membubarkan partai politik, hingga kemudian dia jatuh di 1966.

Soeharto justru idem ditto dengan yang digantikannya, Soekarno. Konglomerasi merajalela, korupsi, kolusi, nepotisme dan penjarahan harta negara membuat Soeharto menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Pembunuhan misterius, penculikan aktivis, pembredelan pers dan seterusnya, menjadikan alam orde baru begitu menakutkan. Jangan pula cerita soal pemilu yang jujur dan adil.

Setelah reformasi berumur 15 tahun, justru kekisruhan kian merajalela. Tidak ada satupun dari trias politica yang bebas dari perampok-perampok berdasi bernama koruptor-koruptor. Tidak ada satupun. Maka ketika trias politica sudah hancur, pada dasarnya sudah hancur pula sendi-sendi demokrasi. Dan adalah tidak salah kalau demokrasi Indonesia pun sudah meledak berkeping-keping.

Dengan demikian. Sahlah sudah bila anak-anak bangsa pasca kemerdekaan yang duduk di elit kekuasaan dan kemudian merampok negaranya sendiri merupakan anak durhaka, yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan seperti yang digagas oleh mereka-mereka yang telah wafat memerjuangkan negeri ini. Tragedi.

Ilustrasi [foto: reactii]
Kelemahan Bahasa
Bahasa kita memiliki kelemahan dalam meneropong kondisi negara ini. Pertama, bahasa kita mengalami pembungkaman oleh kekuasaan. Semestinya, bahasa rakyat mestilah sampai ke istana-istana kekuasaan sehingga penguasa selalu bisa mendengar dan melaksanakan apa yang dituntut dan dikeluhkan oleh rakyat. Ini tidak terjadi pada kurun kekuasaan Soekarno dan Soeharto.

Retorika Soekarno telah menutup kemungkinan terjadinya imbal balik, dialog antara Presiden dan rakyatnya. Rakyat kebanyakan terkesima oleh kharisma Soekarno, dan manut. Namun, Soekarno juga begitu lihai. Kaum cendekiawan tidak bisa diperlakukan sama seperti rakyat jelata, karena mereka punya kemampuan bahasa. Maka pembredelan pers, pembubaran partai politik dan ormas, menjadi salah satu cara yang membuat bahasa Indonesia sebagai penyampai penderitaan rakyat dan pengawas kekuasaan menjadi begitu lemah. Bahasa Indonesia kemudian menjadi bahasa monolitik, menjelma menjadi bahasa kekuasaan bukan lagi bahasa rakyat.

Di masa Soeharto, kelemahan bahasa diperkukuh salah satunya oleh gerakan eufemisme, penghalusan bahasa. Ini terjadi karena begitu refresifnya kekuasaan yang dijalankan Soeharto sehingga bahasa rakyat yang sejatinya jujur, terbuka dan lugas, digantikan oleh bahasa-bahasa kaum hipokrit yang hanya berusaha menyenangkan kekuasaan Soeharto. Berseliwerannya idiom dan pepatah-pepatah misalnya saja seperti mukul dhuwur mendhem jero (memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam) yang sejatinya mempunyai makna begitu halus dan tinggi, ternyata berhasil dimanipulasi oleh kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri bukan untuk rakyat.

Di periode berikutnya, pasca reformasi, seolah-olah bahasa kembali mendapat tempat dalam kekuasaan dalam bingkai kebebasan dan transparansi. Namun, yang terjadi justru adalah pseudo, kepura-puraan dan manipulasi. Penguasa mengatakan akan memberantas dan memimpin sendiri terhadap praktek korupsi, tapi justru korupsi semakin “halal” saja. Kapankah kini media tidak menuliskan atau membacakan kata “korupsi” dalam pemberitaannya? Tidak seharipun. Tak hanya itu, kini, bahkan pemimpin negara pun lebih suka berbahasa asing daripada bahasa rakyatnya sendiri.

Kalaupun bahasa rakyat itu ada, dia menyempil, terpuruk di ujung lorong gelap negara ini. Bukankah munculnya citizen journalism (jurnalisme rakyat) merupakan salah satu perlawanan terhadap ketidakmampuan rakyat jelata untuk masuk menyuarakan diri dan perspektifnya dalam media-media mainstream?

Seperti juga Sazali, anak-anak bangsa telah menjadi durhaka. Ibu pertiwi telah lama mati, seperti juga Mahani (ibu Sazali), ketika Indonesia telah lahir. Kita dibesarkan oleh Hassan, seorang ayah yang melawan masa lalu penderitaannya dengan memanjakan anaknya. Kita dimanjakan oleh kekayaan alam yang sepertinya tak terbatas, yang tak kunjung bangkrut walau dijarah bergilir sudah dilakoni oleh elit negeri dan perampok asing.

Dengan bahasa, Hassan sebenarnya dapat mengendalikan anaknya. Demikian juga, bahasa Indonesia mestinya menjadi pengawal bangsa ini dan juga seperti dulu, pernah menjadi penggerak perubahan. Lihatlah ketika kata “merdeka” dipekikkan, serentak kita rela bertukar nyawa untuk itu. Mestinya, tiada kata secantik bahasa untuk memuji Indonesia. Mestinya. (*)

Leave a Reply