“Sahabat
Biarlah daku pergi
Berjalan menuju
Pangkalan …”
(Ahmad Baqi, Tersiksa dalam Kenangan)
***
Entah siapa yang disebut “sahabat” oleh almarhum Prof HC H Ahmad Baqi. Bait lagu Tersiksa dalam Kenangan di atas merupakan lagu terakhir yang diciptakan maestro musik religi Sumatera Utara (Sumut). Lagu itu diciptakan Baqi, sesaat sebelum ia mengambil sajadahnya untuk shalat tahajud malam di awal Syawal tahun 1999.
Menjelang subuh di hari kedua Syawal 1421 H, bertepatan 20 Januari 1999, Baqi meminta anak-anaknya untuk mengantarkannya ke tempat tidur. Di peraduan itu, Baqi berpulang menjumpai Sang Maha Indah.
Anak-anaknya (Baqi memiliki 8 anak: 5 laki-laki dan 3 perempuan) menemukan syair lagu yang lengkap dengan partiturnya itu, di atas meja kerja Baqi di pondok belakang rumah Baqi jalan Garu I Medan itu. Pondok tempatnya memendam diri dan mencipta, tanpa bisa diganggu oleh siapapun.
Lagu itu menceritakan tentang keinginan Ahmad Baqi yang masih terpendam dan belum tersalurkan sampai saat ini. “Sepertinya ayah sudah tahu kalau ia akan berpulang,” kata Ahmad Syauqi Ahmad Baqi, anaknya yang keenam, dalam sebuah wawancara di penghujung 2005 lampau.
* * *
Baqi lahir di Kampung Baru, Medan, pada 17 Juli 1922. Dia adalah bungsu dari empat bersaudara, anak dari H Abdul Majid dan Hj Halimah. Ayahnya, seorang guru agama Kesultanan Deli, mengarahkannya menjadi seorang ulama.
Abdul Majid seorang ulama yang tegas. Ia tidak memperkenankan Baqi menjadi pemusik. “Kalau Atok menemukan biola ayah, pasti dihancurkan,” kata Ahmad Syauqi yang mengaku tak berapa tahu sudah berapa biola yang telah dihancurkan ayah Ahmad Baqi.
Selain alat musik, pantalon (celana panjang) yang sering dikenakan Ahmad Baqi pun tidak diperkenankan oleh Abdul Majid. “Supaya tidak ketahuan, ayah sering main biola dulu jauh ke kebun,” kata Syauqi.
Tapi, didikan ulama itu justru membekas di syair-syair dan aliran musik yang dipilih Baqi. Suatu hari ia berkonsultasi dengan seorang temannya, seorang ulama dan qari besar dari Sumut, H Azra’i Abdurrauf (alm.). “Bagus juga kalau engkau ke sana (musik). Ada lagu-lagu yang bernafaskan Islam,” kata Azra’i kepadanya.
Tak heran, bila pertemanannya dengan Azra’i ditambah ilmu dari ayahnya membuatnya fasih untuk menguasai qiraat dan nada membaca Al-quran. Menurut Syauqi, kadang-kadang H Azra’i datang ke pondok Ahmad Baqi pada tengah-tengah malam. Mungkin saja, salah satu makna kata “sahabat” dalam goresan terakhirnya yang dikutip di awal tulisan ini, diperuntukkan bagi Azra’i. Atau sesuatu yang lain…
* * *
Ahmad Baqi bukan seniman level biasa. Namanya tak hanya harum di ranah Melayu Asia Tenggara tapi juga membuai hingga ke Timur Tengah.
Baqi pernah mendapat gelar Profesor Honoris Causa di bidang musik dari Kerajaan Kelantan Malaysia tahun 1970. Gelar itu diberikan Datok H Mohammad Asri Bin H Muda, Menteri Besar Kelantan, setelah lagu Selimut Putih yang bercerita tentang kematian dan membuat merinding seantero pelosok ranah Melayu. Lagu itu sendiri sudah dicipta Baqi pada 18 juli 1968. Honoris Causa lainnya diberikan H. Bahrum Jamil, pendiri Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) kepada Baqi.
Malaysia memang terpincut dengan Baqi. Pada 1995, pemerintah Malaysia memberinya gelar Datuk yang diberi oleh Menteri Besar Sabah. Lalu, dua tahun sebelum wafat, ia diberi gelar ASDK (Ahli Setia Darjah Kota Kinabalu) oleh kerajaan Sabah Malaysia (1997). Kala itu, Baqi sudah berumur 75 tahun.
Di Brunei, Baqi ditawari untuk tinggal di sana. Fasilitas apa pun akan diberikan pemerintah Brunei bila Baqi mau menularkan ilmu dan berkreasi di negeri kaya minyak itu. Tawaran itu ditampik Baqi dengan halus kepada Awang Haji Tua, seorang pengurus Kerajaan Brunei yang datang kepadanya pada 1982. Baqi sendiri datang ke Brunei ketika Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah sedang berulang tahun yang ke-37. “Lebih baik hujan batu di negeri daripada hujan emas di negeri orang,” kata Ahmad Baqi waktu itu.
Maestro musik padang pasir dunia asal Mesir, Ummi Kaltsum, pun mengetahui sosok Baqi. Penyanyi itu pernah meminta Baqi untuk mengajar musik padang pasir dan pindah ke Malaysia. Baqi juga menolak permintaan mandah itu.
Tapi Mesir tetap memperhatikan Baqi. Universitas Al Azhar Mesir memberinya hadiah berupa Ganun, alat musik petik khas Mesir yang mempunyai 78 senar. Ganun itu diserahkan Imam Besar Universitas Al-Azhar Mesir, periode 1958-1963, Prof Sheikh Mahmoud Shaltut, di kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan sewaktu Baqi mengisi acara hiburan di gubernuran Sumut. Sheikh Shaltut sendiri diketahui pernah berkunjung ke Indonesia pada 1960.
Baqi memang pernah ingin melanjut sekolah di Al-Azhar Mesir, namun perang dengan Jepang menjadi penghalang. Ganun Mesir itu dikuasai Ahmad Baqi hanya dalam waktu setahun. Itu di samping keahliannya memainkan dengan fasih alat musik lain seperti biola, gambus, dan akordion.
Baqi merupakan seniman sejati. Untuk total di musik, ia mengambil pensiun dini dari jabatan Kepala Perbekalan PLN tahun 1975, tempat ia bekerja sejak 1947. Ia kemudian menceburkan diri di pondok musik yang sudah didirikannya sejak tahun 1970. Dua tahun sebelumnya, 1968, ia merangkum banyak grup-grup musik dan orkes melayu Padang Pasir di Medan, seperti Al Wardah, Al Wathan, En Nasiim, Syauthun Niil, dan lain-lain, dalam sebuah organisasi El Qawaqib. Baqi sendiri mendirikan grup El-Surayya pada 1964.
Ironisnya, penghargaan yang diterima Baqi dari negeri sendiri, minim benar. Itu pun datangnya dari mendiang H Raja Inal Siregar, mantan gubernur Sumut. Gubernur yang dikenal agamis itu memberinya penghargaan Pembina Seni dan Budaya Sumatera Utara sebagai Komponis pada 5 April 1998. Setelah itu, pada tahun 2000 atau setahun setelah Baqi wafat, dilaksanakan Malam Kenangan Ahmad Baqi di Hotel Garuda Plaza Medan. Konon, di malam itu pemerintah akan menyelenggarakan malam kenangan untuk Ahmad Baqi setiap tahunnya. Tapi, ternyata tidak.
Agaknya, Baqi semasih hidup seperti sudah sadar tentang nasib seniman. “Kami ini seniman, setelah di pusara baru dihargai. Kalau tidak anak aku, cucu aku yang menikmati,” kata Syauqi mengucapkan kalimat ayahnya. (*)
Penulis: Nirwansyah Putra
Catatan:
1. Reportase ini dibuat pada Desember 2005. Diupload pertama di blog tukangngarang pada 2008 dengan judul Seribu Lagu Ahmad Baqi. Beberapa konten telah dimodifikasi, sebagian dikoreksi dan disesuaikan dengan blog Ahmad Syauqi Ahmad Baqi, anak Ahmad Baqi yaitu Ahmad Baqi El Surayya Indonesia.
2. Tulisan ini terdiri dari dua artikel: Ahmad Baqi, Seniman Besar Indonesia Asal Sumatera Utara; dan Seribu Lagu Ahmad Baqi dan Hawa Al-Quran.
One thought on “Ahmad Baqi, Seniman Besar Indonesia dari Medan, Sumatera Utara”