DUHAI, malangnya dirimu. Kau menyangka dirimu sedang dimabuk cinta, tetapi kau merasa dapat menyembunyikannya? Meletakkannya dalam ketenangan wajahmu dan mencoba berjalan di atas dunia yang diciptakan oleh sang mahacinta dengan kasih sayang yang tak terukur ini? Kau kira kau sedang menaruh seekor jangkrik atau belalang dalam sebuah botol?
Bodohnya dirimu. Airmatamu akan bercucuran, hatimu akan merasakan kegelisahan yang amat sangat. Lalu, kau merasa kau dapat menyembunyikannya dalam malam, dalam kegelapan? Begitulah angkuhnya dirimu.
Cintamu yang dahsyat itu akan menukar segala kelezatan menjadi derita. Malang nian dirimu…
* * *
Kau telah mencela diriku yang dimabuk cinta ini. Menertawakannya seperti tontonan komedi. Tertawalah, terbahaklah.
Janganlah dia kau cela, kau tertawakan. Sudahilah tawamu itu. Maafkan dia. Maafkan dia yang terlanjur dimabuk cinta ini. Tapi, apakah kau mampu merubah tawa menjadi maaf dalam sekejap? Aku tak tahu, aku hanya menyarankan. Pasti sungguh sulit memaafkannya setelah menertawakannya, bukan?
Maafkanlah dia kalau kau mampu. Telah panaslah badannya menanggungkan rindu yang amat sangat bergejolak di dalam jiwanya. Seperti api yang terus menyala, membakar kayu bakar dan belukar yang telah kering.
Maafkanlah dia kalau kau mampu. Oh, kalau kau tahu mengenai cinta yang dialaminya, kau akan tak berani mencelanya. Kau tak akan berani merasakan derita yang sedang dialaminya.
Maafkanlah dia kalau kau mampu. Kau tak akan bisa menasihatinya, memberinya jalan keluar dari sakit yang dideritanya. Dia tak akan mendengarmu, sekalipun dia begitu ingin. Telah tertutup segala pendengaran, telah gelap segala penglihatan. Dia telah menjadi tuli dan buta, tertatih-tatih menapak jalan di atas dunia. Terseok-seok, membentur dinding dan pagar rumahmu, lalu menghantam pepohonan, kayu lapuk, tertusuk onak, dan terseret sungai.
Maafkanlah dia kalau kau mampu. Kau pikir dia akan sakit ditusuk duri-duri di belantara cinta itu? Sekali-sekali tidak. Tidak akan. Kulitnya memang akan luka, tetapi kulitnya itu pun akan malu menandingi perih di dalam hati dan jiwanya. Seperti dia tak akan pernah mendengar perkataan dan nasihat-nasihatmu, maka dia juga tidak akan memerhatikan keluhan dari sekujur tubuhnya. Sudah kukatakan, kulitnya pun akan malu untuk mencoba menandingi luka jiwa dan hatinya.
Kau mungkin akan berkata, adakah obat bagi dirinya? Duhai, malang nian dirimu. Lihatlah dirimu yang tidak mengerti apa yang dimaksudkannya sebagai sakit karena cinta itu. Kau pikir, arti sakit itu juga seperti eranganmu ketika digores pisau? Oh, malang nian dirimu. Mengapa kau menyukai rasa kencur sementara orang lain justru muntah ketika mengecapnya?
Mampukanlah dirimu memaafkannya
karena engkau
tak mengerti cinta
sakitnya cinta
lezatnya cinta
tak tahu dirinya
tak paham tentang dirimu sendiri
duhai, malang nian dirimu
Tertawalah kalau kau mampu… (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – warung burjo jan’24