SYAHDAN, sebutir hujan meluncur turun ke bumi. Bening, lembut, dan berkilau saat memantulkan cahaya; seperti bulan. Air hujan itu mengalir ke lembah-lembah melewati lekukan eksotis sungai yang mengikut aturan alam semesta; dari tempat tinggi ke tempat rendah.
Nun di hilir, seorang perempuan dan lelaki berjalan bersebelahan. Dahaga tiba-tiba melanda kerongkongan mereka. Berhentilah mereka di tepi sungai itu. Si lelaki menggayung air sungai nan jernih dengan kedua tangannya. Disuapkannya perempuan itu terlebih dulu.
Butiran hujan itu kini berpindah, mengalir larut ke bibir, kerongkongan, dan perut mereka. Seperti kembang api yang pecah, menyebar, dan bersinar di udara, sebutir hujan tadi juga terpecah menjadi miliaran unsur-unsur yang diserap tubuh dan jiwa mereka. Haus mereka pun hilang. Begitu segar. Wajah keduanya memancarkan cahaya, berseri-seri laksana bunga. Seperti berbuka puasa, maka lelah dan dahaga telah berganti dengan lautan energi.
Miliaran unsur tadi tak berhenti berkerja. Seperti magnet, dia juga menarik unsur-unsur yang menyebar di dalam dua tubuh dan jiwa lelaki dan perempuan tadi. Keduanya pun saling menatap, merapatkan wajah. Dan, berpagutlah bibir-bibir yang telah basah, berpeluk erat dalam keringat, bersatu meledakkan energi yang begitu dahsyat.
Ah, janganlah pernah kau kecilkan sebutir air yang turun dari langit atau naik dari dalam tanah. Bukankah zamzam tidak hanya menjadi pengusir dahaga yang penuh berkah dan rahmat bagi Hajar dan Ismail saja, melainkan juga terus mengalir bagi seluruh umat manusia hingga kini dan di masa nanti? Sungai-sungai penuh rahmah akan mengalir jauh, nun, hingga ke dalam surga yang kau damba-dambakan itu.
Dan bersandinglah si perempuan dan lelaki itu di pelaminan semesta di mana sungai-sungai bergemericik di bawahnya; sembari berbisik dua kata yang selalu berdampingan: ar-Rahman dan ar-Rahim… (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – tengah Feb’24