SESEORANG menyangka telah melihat seluruhnya bersama matahari; di kala siang, saat benderang meliputi seluruh alam. Dia melihat banyak hal. Terkesima, lalu memuja dan bahkan menyembahnya; menganggapnya sumber pencerahan, enlightment, renaissance. Dia pun mengutuk kegelapan.
Tapi, malam pasti datang menyelimuti alam. Lantas, dia terperangah. Di sudut langit yang bersih, bintang-bintang bercengkrama dengan indahnya, seperti laiknya suatu jamuan. Di sudut lain, kunang-kunang berterbangan pelan di sudut matanya. Lalu, kini ada jingga, oranye, merah yang bukan merah, biru yang bukan biru, dan lain-lain warna yang menyergap matamnya yang kecil itu. Kegelapan yang dikutuknya tadi, telah mempertontonkannya lebih banyak lagi.
Tapi, dia terlanjur suka mengutuk. Dia pun mengutuk, lagi: di manakah kalian bersembunyi selama ini?
Bintang-bintang dan kunang-kunang berhenti sejenak, menolehnya. Mereka tersenyum, kembali bercengkrama, mengajaknya menari. Berbisik:
“… Duhai, benderang telah menyilaukan matamu. Kaulah yang telah buta. Kami tak pernah bersembunyi. Selalu di sini, di dekatmu. Bahkan, ada yang lebih dekat dari urat lehermu sendiri…” (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – botlem ‘des 23