KITA pernah membanggakan sesuatu yang bukan milik kita sendiri. Bandara Polonia Medan, satu di antaranya. Dia bukan milik kita, dulu.
Polonia adalah ejaan latin untuk Polandia, sebuah negara lain yang ada di Eropa. Bagi Baron Ludwik Michalski, orang Polandia yang pada 1872 mendapatkan konsesi lahan dari kolonial Belanda, kawasan itu mulanya bukan untuk sebuah bandara. Dia menamakan perkebunan tembakau miliknya itu dengan sesuatu yang ada pada dirinya, mengingatkan dirinya pada asalnya.
Michalski adalah orang Polandia. Entah mengapa dia terdampar dari Polandia ke suatu kawasan yang begitu jauh, Asia Tenggara, yang dulu dikenal begitu banyak nyamuk ini. Konon, dia adalah veteran perang melawan penjajahan Rusia atas kawasan Polandia pada 1863. Setelah pemberontakan yang gagal itu, dia dikabarkan lari ke Swiss. Setelah itu, sekonyong-konyong, dia dituliskan mendapat konsesi tanah perkebunan di Deli.
Michalski tidak lagi menjadi buron sebuah pemberontakan, melainkan telah dijuluki sebagai Baron. Seorang baron, salah satu yang bisa kita pahami adalah juga seorang tuan tanah, feodal yang akan memberi identitas pada apa yang dimilikinya dan mengharamkan orang lain untuk bahkan menyentuhnya. Belanda tak merubah imej ataupun nama untuk kawasan itu, membiarkannya tetap berjuluk Polonia. “Kawasan itu adalah Polonia, punya orang Polandia,” mungkin begitu kata-kata orang Belanda dulu.
Kita tidak tahu mengapa dan bagaimana Michalski “datang” kemari, ke Medan? Sebagai pelarian? Jika benar, alangkah mulianya pemberontakan yang diikuti Michalski itu karena menginginkan dan berjuang demi kebebasan bagi negaranya. Bila itu juga benar, maka dia kembali layak diacungi jempol: seorang pelarian namun mendapat konsesi tanah perkebunan dari perusahaan Belanda yang menjajah suatu negeri yang didiami suku asli Melayu Deli. Sepertinya kita telah mendapat satu lagi pelajaran mengenai definisi kebebasan, suatu perspektif kemerdekaan dari Michalski. Nampaknya, kita memang harus terus-terusan belajar kemerdekaan dan hak-hak manusia dari orang-orang Eropa seperti Inggris, Perancis, Portugal, Belanda, Spanyol, Jerman, dan lain-lain, hingga pada turunannya seperti Amerika Serikat.
Lima tahun setelah Michalski mendapat tanah itu, konsesinya diambil perusahaan raksasa milik penjajah Belanda, Deli Maatschappij, pada 1879.
***
Polonia “hanya” sebuah kawasan yang oleh Deli Maatschappij kemudian akan ditunjuk sebagai areal landasan bagi sebuah pesawat Fokker F-VII kecil yang diawaki seorang pilot tes Belanda bernama NJ Thomassen à Thuessink van der Hoop. Langsung terbang dari Belanda, Hoop tak jadi mendarat di sana. Bersama Letnan H van Weerden Poelman (seorang tentara Belanda) dan PA van den Broeke (teknisi penerbangan), Fokker ini mendarat di area pacuan kuda, Deli Renvereeniging, milik Sultan Deli pada 1924.
Setelah Indonesia merdeka dari Belanda dan kemudian Jepang, bandara Polonia masih tetap dipakai sampai kemudian operasionalisasi bandara ini diberhentikan pada 25 Juli 2013. Hingga tahun itu, ketika orang asing masuk ke Medan, Sumatera Utara, mereka sampai di sebuah kawasan yang para anak negeri ini masih suka memakai identitas yang diberikan oleh Michalski tadi: Polonia, bukan Medan. Begitulah, Polonia telah diserap menjadi istilah lokal. Apapun itu, di antara sekian banyak bangunan Eropa di Kota Medan dan sekitarnya, Polonia telah menjadi salah satu lagi bukti jejak penjajahan yang masih kuat menantang di negeri ini.
Setelah 2013, penerbangan sipil di Polonia kemudian dialihkan ke Bandara Kualanamu di kawasan Deli Serdang. Deli Serdang bukanlah Medan, meski masih sama-sama Sumatera Utara, masih sama-sama Indonesia. Polonia kini adalah pangkalan TNI Angkatan Udara dan bandara untuk penerbangan khusus negara.
Polonia begitu berharga. Saat menjadi bandara dan hingga kini, harga tanah di kawasan bekas milik Michalski di Kota Medan ini, begitu mahalnya. Hanya orang-orang kaya yang mampu membelinya. Namun, harganya bukanlah uang semata.
***
Kabar Michalski tak diketahui lagi setelah konsesi atas tanah itu diambil oleh perusahaan penjajah Belanda. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Maka, yang tetap tinggal di kawasan itu hanyalah nama tempat asal Michalski: Polonia, suatu negara yang warna benderanya identik benar dengan Indonesia –merah putih dan putih merah. (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – ashar ’13/24