TUKANG-tukang sihir yang merapal mantra akan selalu memuja api. Api itu membikin terang, tapi hanya sesaat. Sekonyong-konyong, dicabutlah cahaya dari api itu, dan para penyihir langsung tertawa girang dalam pekat kegelapan. Gelap dan hitam adalah rumah kami, kata mereka.
Dasar bodoh! Itu bukanlah kegelapan malam yang menyibak bintang-bintang dan menjadi penunjuk arah. Tertawalah, tertawalah! Tertawalah dalam kebodohanmu, tertawalah dalam kesesatanmu.
Mereka tuli dan buta. Mereka telah dibutakan, dibutakan dengan sengaja; punya mata, tetapi tak mampu melihat. Persis seperti sihir yang diramunya: mengaburkan dan menyesatkan pandangan. Padahal, kegelapan yang dipujanya itu adalah awan-awan hitam yang sedang berbaris mengelilingi dirinya. Seperti barisan prajurit yang akan mengeksekusi para pengkhianat.
Dentuman guruh demi guruh diperintah untuk mendebar dan meledakkan jantung mereka. Lalu, awan-awan hitam itu akan menembakkan butir-butir air yang mengejar dan mengelupas kulit mereka seperti para ababil menghujani Abrahah dengan sijjil.
Petir! Itulah yang membuat para tukang sihir melihat sekilas apa yang sebenarnya dia hadapi: kilatan cahaya di pekat kegelapan yang memertontonkan catatan kejahatan dan kezaliman dirinya. Petir akan memecahkan gendang telinganya. Bukan hanya suara melainkan juga panas yang menghanguskan. Mereka disengat seketika, tanpa sempat dan mampu melihat siapa yang baru saja telah memanah mereka.
Ketika kau jual dirimu pada para tukang sihir, maka pembeli dan penjual sihir akan bernasib sama: menelan api yang mereka puja-puji itu ke dalam perutnya, lalu golakan api yang jauh lebih dahsyat akan menelan mereka di dalamnya. Tidak hidup, tidak pula mati.
Setan-setan pun tertawa… (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – hujan saat maghrib