DUHAI engkau yang dimabuk cinta, percayalah, mereka tak akan mau memaafkanmu. Mereka akan tetap mencelamu, menertawakanmu.
Begitu malang engkau, Tuan. Kau sambut malam dengan sumringah karena kau sangka akan bisa bersembunyi dari mereka dalam kegelapan. Sangka salahmu sudah sedemikian menggunung. Kau sangka kelam akan melahirkan samar dan akan menolongmu?
Tuan, memanglah malam adalah selimut. Namun, selimutmu itu justru akan menambah panas kerinduanmu. Gejolakmu tak bisa dipenjara dalam gulita. Bisakah kau bayangkan saat kau berada dalam pekat kegelapan? Kau akan meronta-ronta, menerobos apapun untuk menemukan setitik cahaya. Kau akan memukul-mukul dinding keangkuhan dan kebodohanmu, tak berhenti, tak kenal lelah, untuk merobohkan batu atau rantai baja sekalipun yang melilitmu seperti ular. Bukankah setetes demi setetes air yang berketerusan, dapat melubangi sebongkah batu dan membelahnya? Lalu, bagaimana kau akan menghadapi kekuatan dan energi yang begitu dahsyat dari gelombang tsunami?
Tuan, begitulah hasratmu ingin menemukan cahaya. Dia akan terus mencari nur-nya, yang menjadi pelita bagi dirinya, yang akan menerangi wajahnya, memoles senyum pada bibirnya, dan kemudian memeluknya erat-erat hingga hampir-hampir sesaklah nafasnya. Dalam pekat malam, setitik cahaya bintang akan begitu gemerlap, berkilauan di atas permadani langit yang terhampar. Kau akan semakin gila, ingin terbang menuju bintang-bintang; meski sinarnya itu hanya secuil dibanding matahari, meski jauhnya bintang tak terbayang.
Berhati-hatilah engkau, Tuan, karena begitu tingginya hasrat itu, dia terkadang tak mampu membedakan hakikat cahaya dari matahari, dan bulan. Keduanya sama-sama melahirkan sinar, tetapi yang satu hanyalah pancaran dari cahaya yang hak. Berhati-hatilah, engkau. Ada yang akan bersinar terus-menerus, dan ada pula yang seperti petir: menerangi sesaat lalu menghilang ditelan mendung.
Berhati-hatilah, nafsu pasti akan memuncak ke ubun-ubun, menggiringmu ke dalam pusaran kepuasan fatamorgana. Begitu menggelora, bergairah, dan begitu indah. Ah, keindahan itulah yang akan menipumu. Kau suka yang indah-indah, bukan? Begitulah dia akan mengakalimu: pada hal yang sangat engkau sukai, pada suatu yang amat kau percayai.
Para setan berwajah mulus yang sudah mengintai sejak tadi, lalu akan menyapa dengan senyum yang tulus. Berusaha menyerupai rupawannya kekasihmu, mengajakmu menari-nari, dan bercumbu dalam keremangan malam. Kau lalu lupa pada satu baris isi surat kekasihmu dulu: aku tak akan mampu diserupakan oleh siapapun!
Begitu malang engkau, Tuan. Dalam keheningan malam, khayalanmu justru kian melayang kepada kekasihmu itu. Begitu jauh, hingga matamu pun menjadi begitu berat.
Demikianlah, tidurmu itu pun tak akan berguna: tidur yang gusar, gelisah, karena kekasih sejatimu tak juga datang dalam mimpi-mimpimu… (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – pascamaghrib jan’24