Dari Sang Raja… – indhie.com

Dari Sang Raja…

Pasal kesebelas Gurindam Dua Belas.
Gurindam 12 karya Raja Ali Haji. [sumber foto: wikipedia, edit: indhie]

Hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa

Hendaklah jadi kepala
buang perangai yang cela

Hendaklah memegang amanat
buanglah khianat

 Hendak marah
dahulukan hujjah

Hendak dimulai
jangan melalui

Hendak ramai
murahkan perangai

Dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, Raja Ali Haji telah menulis nasihat di atas dalam pasal kesebelas salah satu karya sastra paling terkenal di Indonesia, Gurindam Dua Belas. Semacam rumus; ada persoalan dan ada pula jawaban. Tak melulu juga soal jawaban, melainkan juga cara menjawab soalan-soalan tersebut. Nasihat-nasihat yang diberikan tidak lagi memusingkan soal apakah dia menggurui, apakah dia lebih suci atau tidak dari yang dinasihati. Gurindam di atas melampaui itu. Untuk suatu kebenaran dan kebaikan yang diharapkan akan terjadi pada sosok seseorang ataupun untuk banyak orang, suatu masyarakat dan lapisan-lapisannya, maka nasihat sekaligus peringatan dan ancaman wajib dilontarkan. Nasihat-nasihat itu tentu sangat terbuka untuk didebat, ditepis, atau malah dianggap tak benar sama sekali. Silakan saja.

Juga, melampaui di antara kegelisahan utama para pengarang: keindahan dan teknis bahasa. Tapi, adakah yang berani mengatakan Gurindam Dua Belas tak indah? Ya, silakan saja. Namun, dalam gurindam itu, tampaklah bahwa Raja Ali Haji begitu jeli dan teliti dalam menulis syair-syairnya.

Hingga kini, syair-syair yang ditulisnya terus diwariskan, dibacakan, sebagian menghafalnya, dilantunkan dalam tradisi lisan secara turun-menurun, dan dikupas oleh para peneliti betulan maupun yang lebih merasa asyik di belakang meja laboratorium. Insya Allah, Raja Ali Haji mendapat ampunan, berkah dan rahmah dari ar-Rahman ar-Rahim.



Dalam perkara lain, menulis gurindam yang berisi nasihat, pencapaian, serta tafsir Islam dalam kadar tertentu yang digurat oleh seorang bangsawan kerajaan Melayu di tengah-tengah situasi kolonialisasi Eropa, adalah suatu titik tersendiri yang sepatutnya haram dipandang enteng. Seperti diketahui, kolonialisasi Eropa tidak hanya terjadi di bidang politik dan ekonomi, melainkan budaya dan bahasa. Misalnya, penjajah Eropa begitu ingin memasukkan aksara latin yang dipakai Belanda ke masyarakat Islam yang lazim menggunakan aksara Arab. Itu juga merupakan bentuk penjajahan yang langsung masuk ke dalam benak dan pikiran orang yang dijajahnya, tidak hanya secara sosial melainkan menusuk langsung ke otak dan psikologis  individu. Bila masyarakat sudah terbiasa berpikir secara islami, maka adalah “tupoksi” penjajah yang ingin memaksa rakyat jajahannya untuk berpikir (baik isi dan cara berpikirnya) seperti dirinya. Instrumen berpikir sudahlah pasti adalah bahasa.

Istilah dan bagaimana menuliskan istilah-istilah itu adalah persoalan mendasar yang begitu dahsyat. Tak heran, bila salah satu faktor tingginya suatu peradaban, kebudayaan suatu bangsa dan bahkan menjadi pemisah antara masa (sejarah dan pra-sejarah), melanjutkan pelajaran guru-guru sewaktu kecil dulu, adalah penemuan huruf (tulisan). Penjajah Belanda berhasil melakukan itu di kepulauan nusantara Indonesia, baik secara paksa yang kemudian lama-kelamaan menjadi alamiah. Huruf Arab yang menjadi bahan dasar dari masyarakat Islam telah berganti menjadi huruf latin.

Alhasil, tidak hanya kemampuan menulis dalam huruf Arab yang tergusur, melainkan juga lebih jauh pada kemampuan berbahasa, pengenalan terhadap istilah-istilah, metode-metode dan pola pikir islami, menjadi langka. “Kitab kuning” dalam pengertian kitab yang ditulis dengan huruf Arab “gundul” tampak telah begitu asing dan orang yang menguasainya akan tampak “istimewa”. Padahal, khazanah keilmuwan di sana adalah titik-titik genealogis sambung-menyambung dengan tradisi keilmuwan masa lalu. “Nasab” keilmuwan, dalam pengertiannya yang luas, taklah jauh beda dengan kewajiban bibliografi di dunia akademik saat ini sehingga terlacaklah darimana sumber pemikiran seorang akademisi berasal.

Jadi, masuk akal kalau misalnya umat tidak familiar dengan khazanah keilmuwan Islam. Itu sama dengan menjauhkan umat dari Islam. (*)


Nirwansyah Putra 
[indhie] – Mei 2024