L’art pour l’art, Seni untuk Seni, Apa Maksudnya?

[foto: James Florio/clyffordstillmuseum.org]

L’art pour l’art (seni untuk seni) adalah slogan Prancis yang muncul sekitar abad ke-19. Frasa itu menegaskan bahwa nilai intrinsik seni, dan satu-satunya seni yang sebenarnya, dipisahkan dan tidak mempunyai tujuan seperti nilai-nilai moral hingga fungsi didaktik (pendidikan, pengajaran). Karya-karya yang mendukung soal ini kadang-kadang digambarkan sebagai “autotelis” (dari istilah Yunani: autoteles) yang berarti lengkap dalam dirinya sendiri.

Versi latin frasa ini adalah ars gratia artis, Inggris menjadi art for art’s sake, dan Jerman dengan Kunst fur die Kunst.

Penggunaan frasa “L’art pour l’art” ini dipopulerkan oleh Théophile Gautier (1811–1872), seorang penyair, dramawan, novelis, jurnalis, dan kritikus seni dan sastra Prancis. Dia meletakkan frasa tersebut dalam kata pengantar untuk bukunya pada 1835, Mademoiselle de Maupin. Meski, ada informasi lain yang menyebutkan, Gautier bukanlah yang pertama memunculkan frasa itu karena frasa itu juga ditemui dalam karya Victor Cousin (filsuf Perancis, hidup 1792–1867), Benjamin Constant (penulis dan politis Swiss-Perancism hidup 1767–1830), dan Edgar Allan Poe (penulis dan kritikus sastra Amerika, hidup 1809–1849).



Slogan ini juga diangkat untuk menentang di antaranya kelompok seniman “beraliran” sosialis marxis yang menuntut nilai seni untuk melayani moral atau bertujuan mendidik masyarakat yang mengarah pada adanya politisasi seni. Penulis Inggris, John Ruskin (1819-1900), termasuk yang setuju soal tujuan seni ini.

Kelompok pengusung L’art pour l’art menganggap, seni tidak memerlukan pembenaran moral, dibiarkan netral secara moral. Pelukis Amerika, James Abbott McNeill Whistler (1834-1903), yang salah satu lukisannya Whistler’s Mother (1871) dianggap sebagai salah satu lukisan Amerika paling terkemuka, merupakan salah seorang pendukung utama kredo l’art pour l’art ini. Dia membuang peran seni yang biasa digunakan untuk kepentingan negara ataupun agama. “Seni mestilah berdiri sendiri… dan menarik rasa artistik mata atau telinga, tanpa mengacaukan hal ini dengan emosi yang sama sekali asing baginya seperti pengabdian, rasa kasihan, cinta, patriotisme dan sejenisnya,” seperti dikutip dari media seni budaya sejarah Amerika, Smithsonian.

Sebaliknya, filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, menentang frasa L’art pour l’art ini. Dia berpendapat, l’art pour l’art seperti cacing yang memakan ekornya sendiri. “Seni adalah stimulus besar bagi kehidupan: bagaimana orang bisa memahaminya tanpa tujuan seperti l’art pour l’art?” tulis Nietzsche dalam Twilight of the Idols (1889). (*)

Cari di INDHIE

Be the first to comment

Leave a Reply