APAKAH orang yang berjalan dengan wajah tertelungkup itu lebih mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?
Ah, begitu mudahnya kita terpesona dengan yang seolah-olah “indah” dan “manis”. Begitu gampangnya kita terkecoh dengan yang dianggap “buruk”. Bukankah racun selalu akan dilarutkan dalam manisnya madu, hidangan yang sangat kau sukai?
Tragis. Bukankah kebenaran itu sudah ada sejak dulu, terpampang di mana-mana, seperti kalimat yang sebetulnya cukup sederhana: wajahku ada di mana-mana? Dinyatakan dengan lembut sekaligus keras oleh para nabi. Dituliskan dengan tegas dan nyata di dalam kitab dan buku-buku para cendekiawan yang jujur dan adil.
Telusurilah sejarah. Berjalanlah ke ruang dan masa lalu. Lihat dan telitilah bagaimana kekuasaan dipergelarkan, dipergilirkan, dibangkitkan, lalu dihancurkan. Disudahi, hingga taklah dia memiliki sisa. Sebagian, telah dibiarkan menjadi puing. Sebagian lagi diawetkan dalam cerita-cerita.
Jangan-jangan, kaulah yang memang tidak bisa atau malah tak mau melihat kebenaran-kebenaran itu. Atau, kau terkecoh dan hanya menceritakan puing-puing itu dengan frasa yang begitu bagusnya: “peradaban”.
Maaf, kalau begitu kau hanya seorang wisatawan belaka. (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – 17 Feb’24