Prof Bachtiar Aly: Cut Nyak Dhien Spirit Perjuangan Perempuan Indonesia – indhie.com

Prof Bachtiar Aly: Cut Nyak Dhien Spirit Perjuangan Perempuan Indonesia

Kekuatan perempuan Aceh dapat dijadikan contoh dalam masalah gender di Indonesia.
Prof Dr Bachtiar Aly, MA. [foto: ist]

JAKARTA | Berbicara masalah gender, kekuatan perempuan Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para perempuan Aceh telah mengukir sejarah nasional dan mendarmabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengannya pemimpin tertinggi di masyarakat.

Demikian ditegaskan Prof Dr Bachtiar Aly MA, pakar komunikasi politik di Jakarta, Selasa (27/9/2022).

Prof Bachtiar menjelaskan, dalam struktur masyarakat Aceh, perempuan mempunyai otonomi yang cukup, di antaranya tampak pada sebutan ‘po rumoh’ bagi wanita. Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah (kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), Laksamana (pemimpin angkatan perang), Uleebalang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan terhadap penjajah. “Sederetan nama seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan banyak lagi pejuang wanita. Pantang mundur melawan Belanda hingga akhir hayat,” kata Bachtiar.

Bachtiar memaparkan, Aceh adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di ujung Barat Laut pulau Sumatera, diapit oleh dua laut, yaitu Lautan Indonesia dan Selat Malaka. Posisi itu menempatkan Aceh sebagai tempat yang sangat strategis sebagai pintu gerbang lalulintas perdagangan dan pelayaran internasional. Tidak mengherankan jika pada zaman kerajaan Aceh dahulu, banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai kepentingan perdagangan, diplomasi dan sebagainya.

“Kedatangan berbagai bangsa asing merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh itu sendiri, baik secara politis, kultural maupun ekonomis. Meskipun demikian, tidak semua menguntungkan bagi Kerajaan Aceh. Hal ini terbukti dengan adanya bangsa yang ingin menguasai daerah untuk kepentingan kolonial dan imperialismenya,” terang Bachtiar.



Peran perempuan Aceh melawan penjajahan itu sangat besar. “Tak pernah ada rasa gentar mendampingi suami turun langsung ke medan pertempuran untuk mengusir penjajah, meskipun melintasi hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga, namun semangat mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama,” kata Bachtiar.

Bahkan, Cut Nyak Dhien merupakan salah seorang sosok yang ditakuti oleh para tentara Belanda. Karena mampu mengobarkan semangat api perjuangan dan berdiri kokoh pada barisan depan depan untuk memimpin pasukan perlawanan rakyat Aceh.

Cut Nyak Dhien sendiri lahir di Lampadang, Kesultanan Aceh pada 1848, dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar. Pada 1878, Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang merupakan suami dari Cut Nyak Dhien, gugur saat berperang melawan Belanda. Hal tersebut membuat Cut Nyak Dhien marah dan bedrtempur menghancurkan Belanda.

Pada 1880, dia menikah dengan Teuku Umar dan keduanya terus berjuang melawan Belanda. “Bergabungnya Cut Nyak Dhien ini berhasil meningkatkan semangat juang para rakyat Aceh untuk melawan Belanda,” terang Bachtiar. “Perang dilanjutkan secara gerilnya dengan dikobarkan sebagai perang fisabilillah.”

Peperangan itu membuat fisik Cut Nyak Dhien melemah, sakit, dan kemudian akhirnya Belanda dapat menangkap dan mengasingkannya di Sumedang. Di tempat pengasingannya, Cut Nyak Dhien mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat sekitarnya hingga wafat pada 6 November 1908 karena sakit. (*)


Laporan: Said Harahap