JAKARTA | Kolaborasi kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Indonesian Audit Watch (IAW) bersama Dewan Pimpinan Nasional Forum Masyarakat Pemantau Negara (DPN Formapera), secara resmi melaporkan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan Perempuan (Komnas Perempuan) ke Kapolri dan Bareskrim Mabes Polri. Kedua komnas itu mereka nilai kerap melontarkan pernyataan kontroversial di saat polisi berupaya menuntaskan kasus Ferdy Sambo.
Laporan itu sendiri dalam bentuk pengaduan masyarakat (dumas). “Laporan dalam bentuk pengaduan masyarakat itu telah kami layangkan secara langsung ke Kapolri dan Kabareskrim pada Kamis, 8 September 2022 lalu,” ucap Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, di Jakarta, Ahad (11/9/2022), dalam rilis yang diterima redaksi.
Adapun isi dari dumas tersebut, lanjutnya, berupa pengaduan terhadap Polri untuk menyelidiki sampai menyidik dugaan tindak pidana penyimpangan kewenangan dan/atau kualitas pernyataan-pernyataan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan karena berbeda dengan informasi publik dari penyidik. Sehingga berakibat bias informasi dan bisa menimbulkan kesan mempengaruhi penyidikan kasus Ferdy Sambo.
“Kami menakutkan bias informasi dari pernyataan-pernyataan dua lembaga itu atau oknum di dalamnya karena cenderung kuat akan bisa mempengaruhi proses penyidikan. Tentu itu tidak kita harapkan,” tandas Iskandar.
Dalam hal ini ia juga menilai, berbagai pernyataan Komnas HAM dan Komnas Perempuan terindikasi ‘overlap‘ dari fungsi yang seharunya dilaksanakan dan dijelaskan kepada publik sesuai dengan ketetapan di dalam undang-undang.
“Kami amati apa yang dilakukan Komnas HAM sudah jauh melenceng dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Begitu juga dengan Komnas Perempuan yang begitu getol, abai terhadap perundangan saat melakukan pembelaan terhadap PC. Itu kami nilai sudah melebihi dari fungsi yang diatur dalam Perpres Nomor 65 tahun 2005,” kecamnnya.
Menimpali hal itu, Ketua Umum DPN Formapera, Yudhistira, mengaku sangat heran dengan Komnas HAM yang dinilai sangat berlebihan mencurahkan perhatian terhadap kasus Sambo.
“Padahal masih banyak kasus yang kami nilai lebih membutuhkan perhatian dari Komnas HAM dibandingkan kasus Sambo yang saat ini sudah on the track sesuai KUHAP. Lantas kenapa mesti diributkan lagi dengan berbagai macam asumsi sehingga bias dan memunculkan berbagai persepsi masyarakat. Sangat lebih ideal jika Komnas HAM memfokuskan diri pada kasus mutilasi di Papua setara fokus mereka pada PC. Kami nilai kasus Papua itu lebih membutuhkan perhatian besar melihat hal itu jadi sorotan dunia karena konflik terus terjadi hingga saat ini,” ucap Yudis.
Ia juga mengaku heran, pernyatan yang dilakukan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik terkait temuan lembaganya seolah-olah peran mereka justru jauh lebih memahami penyelidikan dan penyidikan pro justitia.
“Agak aneh memang kalau Komnas HAM seolah hendak memposisikan diri seperti detektif swasta yang lebih serba tahu dan itu disuarakan dalam pernyatannya di media sehingga menjadi viral agar jadi perhatian penyidik yang tengah fokus menyelidiki kasus ini. Mereka tentu bisa secara formal untuk bersurat ketimbang sibuk membuat gaduh pemahaman publik.” sebutnya.
Agar hal ini tak berlarut-larut, Yudis berharap kepada Kapolri bisa sesegera mungkin menindaklanjuti dumas yang dilayangkan Formapera dan IAW. “Kami ingin bapak Kapolri menyelidiki sampai menyidik Komnas HAM atau seminimal-minimalnya oknum di dalamnya berdasarkan pada tupoksi Komnas HAM terkait mereka yang teramat rajin menyuarakan hal berbeda dengan apa yang sudah dipubikasi oleh penyidik Mabes Polri atas kematian almarhum Brigadir J,” tegasnya.
Demikian juga terhadap pernyataan-pernyataan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai lembaga negara independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005.
Karena tujuan Komnas Perempuan itu sesungguhnya adalah untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia. “Bukan malah mati-matian membela perempuan yang diduga turut menjadi dalang sehingga polisi menjeratnya dengan Pasal 340 KUHP karena pembunuhan berencana,” kecam Yudis.
Sesuai penjelasan itu, Formapera dan IAW memohon kepada Kapolri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana penyimpangan kewenangan tupoksi kedua lembaga itu atau oknum di dalam kedua lembaga itu sehubungan pernyataaan-pernyataan mereka terkait kasus kematian Brigadir J.
“Sebab pernyataan-pernyataan mereka jauh berbeda dengan fakta penyidikan yang diumumkan penyidik kepada publik. Kami juga berharap agar Kapolri berkenan menyelidiki sampai menyidik kualitas kebenaran dari pernyataan-pernyataan kedua institusi itu berbanding terhadap fakta-fakta penyidikan. Agar masyarakat tidak sesat mendapat informasi sehingga seminimalnya jangan sampai menyebabkan bias dalam memahami apa sesungguhnya informasi yang sesuai fakta,” harapnya. (*)
Laporan: ril/Hendra