Nirwansyah Putra
~ indhie
TERKADANG, kita menganggap keadilan berada di titik tengah antara dua kutub yang bertolak belakang: kuat-lemah, kaya miskin, cantik-jelek, banyak-sedikit, tinggi-pendek dan seterusnya. Kesamaan, kesetaraan, hingga proporsionalitas adalah beberapa kategori yang disematkan bagi keadilan, tidak condong ke kanan maupun ke kiri.
Tapi, bukankah keadilan adalah hanya cerita utama dari kubu yang paling minor dan bukan sebaliknya? Si miskin dan si lemah selalu menggugat keadilan dari si kaya dan si kuat, si punya kuasa. Tapi si kaya dan si kuat, tidak.
Ada semacam absensi wacana dalam kutub yang kuat soal tema keadilan ini. Sangat jarang ditulis kalau penguasa yang digdaya menuntut keadilan dari kaum mustadha’afin atau kaum tertindas. Kalau ada, mungkin itu bisa cerita yang menggelikan juga. Bila pun ada, penguasa bukannya memberi keadilan namun “mengadili”, sebuah kata yang sebenarnya lebih kurang bermakna menghukum daripada memberi keadilan. Penguasa lebih diceritakan sedang “memberi” keadilan, seolah-olah keadilan itu kepunyaan nenek moyang dia. Sebaliknya, cerita meminta keadilan selalu muncul dari mulut-mulut yang kecil, wong cilik.
Karena itu pula, adil seakan-akan sudah dinobatkan menjadi mimpi bagi si minor. Bahkan, kadang-kadang dia bukan pula berposisi sebagai mimpi yang harus diwujudkan atau cita-cita. Saking sulitnya adil itu hadir di tengah-tengah kaum minor, dan bahkan lebih sering tidak pernah datang, dia bisa jadi hanya berupa khayalan semata.
Tapi menariknya, Islam, agama yang sering dilecehkan oleh intelektual aneh dari Eropa dan Amerika sana, justru berkata sebaliknya. Konsepsi adil dan keadilan menjadi tema utama dari Tuhan; bahkan dia adalah salah satu namanya yang menjelma menjadi semacam jaminan bagi terlaksananya keadilan itu. Keadilan adalah anugerah bagi kemanusiaan dan alam semesta.
Dia kini tidak lagi berada di tengah-tengah kutub mayor dan minor, tapi meliputi itu semua. Penguasa harus menjalankan keadilan bagi rakyatnya dan si kaya wajib mengeluarkan zakatnya. Perjuangan untuk berlaku adil menjadi keharusan di dua kutub itu. Kesalahan dan kebenaran dihitung sedetil-detilnya, serinci-rincinya, sekecil-kecilnya.
Karena itu, komunisme dan sosialisme selamanya tidak akan pernah bisa bersanding dengan Islam. Komunisme selalu mengutuk kaum borjuasi dan bahkan memusnahkannya. Sementara, anarkisme terus mendendam kekuasaan dan wewenang dari suatu makhluk bernama negara. Tema memerjuangkan keadilan dan memberantas ketidakadilan borjuasi, feodalisme dan negara, akan terus menjadi barang dagangan palsu bagi isme-isme ini. Sebaliknya, Islam juga tidak akan mungkin bercumbu dengan kapitalisme yang terus mengeksploitasi. Begitu seterusnya.
Saat bahasa Melayu diterima menjadi dasar bahasa nasional dan bukannya bahasa Jawa dalam Kongres Pemuda 1928 lalu, di sana terjadi keadilan, ada legowo. Namun di sisi lain, di tengah komunitas bangsa Batak, memilih seseorang yang berbangsa Afrika untuk menjadi pemimpinnya, maka itu justru tontonan ketidakadilan. Karena keadilan bukanlah ditentukan oleh jumlah, oleh kuantifikasi pendukung, baik sedikit maupun banyak. Dia sudah menjadi substansi tersendiri, sebuah realitas objektif . Karena itu, ide-ide demokrasi yang berbasis individualisme dan liberalisme sebenarnya sudah tertolak sejak awal pembentukannya karena persoalan ambiguitas.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Begitu kata Tuhan. (*)
2 thoughts on “Adil, la”