Nirwansyah Putra
~ indhie
Campurkan yang empat alam
Hancurkan di laut dalam
Syariat nabi yang khatam
Kerjakan da’im siang dan malam
[Hamzah Fansuri, dalam Abdul Hadi W. M., “Syair-syair Tasawuf Hamzah Fansuri dan Pengaruhnya” (2007)]
* * *
Beberapa khazanah menyindir soal “masa lalu” umat Islam. Dengan pedas. Bahwa, kejayaan umat Islam di masa lalu, toh, sekedar masa lalu. Dia usang, tak perlu dibuka-buka kembali. Tak ada yang perlu dibanggakan dalam album nostalgia dan romantisme sejarah. Bagi mereka, yang perlu adalah menatap, mengatasi dan menguasai masa depan. Bahwa, kondisi umat Islam yang sekarang berada di titik nadir, salah satunya adalah selalu terbuai dengan masa lalu, seperti anak bayi yang mendengkur dalam buaian ibunya. Dan selalu, masa lalu menjadi jawaban yang terus diulang-ulang ketika menerangkan soal Islam. Karena, di masa kini tak ada pula dapat dibanggakan, posisi kalah, berada di tepi sejarah peradaban dan kebudayaan dunia.
Sindiran itu menarik, segar sekaligus bergizi. Kita kesampingkan saja soal motif di balik itu. Menarik karena persoalan masa depan menjadi titik tolak utama. Abbasiyah sudah melakukan itu ketika menyuburkan bibit-bibit Islamic Golden Age yang sudah disemai oleh generasi pendahulunya. Itu soal masa depan.
Islam, walau diturunkan di kota kecil Makkah, bukan pula hanya diperuntukkan bagi masyarakat Makkah saja. Dia rahmat li al-alam-in yang disampaikan Muhammad dan berketerusan hingga kini. Weltanschauung bukan hal baru.
Coba, kita bicara hal yang kecil saja. Doa yang dibaca nabi sebelum dan sesudah makan minum seribuan tahun lampau, telah sampai pula ke Madinah, Mesir, Baghdad, Damascus, Andalusia, dan kemudian sampai ke Indonesia. Di perumahan elit hingga lorong-lorong becek dan sempit. Tapi adakah yang mengingat Plato, Karl Marx, Newton, Montesqiue atau Einstein ketika dia hendak minum?
Tapi topik Islam soal masa depan ini bukan semata-mata kekuasaan, peradaban dan kebudayaan serta kesejahteraan. Dia tidak stagnan. Dia tidak membiarkan adrenalin nakhoda tak terpuaskan dalam gelombang samudera, tiada henti. Dia menyediakan tempat berlabuh.
Peradaban dan kebudayaan lalu sains Eropa/Amerika tidak menyediakan ruang bagi eskatologi. Lalu apa yang terjadi? Individualisme dan humanisme menjatuhkan manusia-manusia Eropa ke titik nadir kebingungan dan berputar-putar di sana. Mendewakan manusia ala Uebermensch. Jiwa-jiwa yang independen seperti yang mereka maksudkan, ternyata begitu kesepian, sunyi. Tak ada pelukan hangat, canda dari para pecinta ataupun tangisan yang tersedu-sedu ketika rindu menghimpit kalbu. Free-will, kehendak bebas justru bermakna perceraian dan bahkan membunuh pencipta dengan membuang kata “ketergantungan”.
Tapi bukankah tidak hanya seorang perempuan yang lembut yang butuh kasih sayang, melainkan juga pria yang gagah perkasa sakti mandraguna? Kisahkanlah Rama yang perkasa itu tanpa Shinta, maka yang didapat hanyalah rasa pedar, kekosongan. Persis seperti jiwa-jiwa manusia “modern” saat ini.
Jadi, kerinduan eskatologis ini adalah soal hasrat yang menggebu soal masa depan yang gaib itu. Surga dan neraka adalah hal yang pasti sekaligus misterius. Hari akhir adalah awal bagi suatu yang lain. Dia tidak benar-benar “kiamat”, end of day. Tanpa ada masa lalu, bagaimana mungkin ada masa depan?
Impian masa depan yang digagas-gagas itu –kekuasaan, peradaban, kebudayaan, kesejahteraan, kemahsyuran, etcetera— menjadi mimpi bersama umat Islam yang semestinya didukung semua. Tapi bukankah kita juga harus malu kalau Khalifah Harun al-Rashid hanyalah seorang di antara begitu banyak muslim yang sudah pernah mengimplementasikan yang diimpi-impikan itu semua di masa lalu?
Maka, berziarahlah ke masa depan. (*)
3 thoughts on “Campurkan yang Empat Alam, Hancurkan di Laut Dalam”