KERIPUT ibu itu semakin bergaris di wajahnya. Dia berdiri dalam unjuk rasa warga pinggir rel kereta api di kawasan Gaharu, Medan, beberapa waktu lalu. Dia tak rela digusur begitu saja untuk pembangunan jalur kereta api ganda. Saya merinding ketika ibu itu menggertakkan gigi, menahan untuk melontar kemarahannya.
Mereka yang hidup di pinggir rel terkena imbas. Jalur dari Stasiun Kereta Api Medan hingga kawasan Brayan, bukan jalur yang pendek. Data yang ada menyebutkan 637 kepala keluarga (KK). Namun, bila dikalikan anggota keluarga, jumlah itu sudah mencapai seribuan orang.
Mereka hidup di sana, di kawasan yang sama sekali bukan elit dan asyik untuk diperebutkan. Tempat di mana setiap hari gemuruh dan bisingnya suara kereta api menjadi santapan sehari-hari; saat bercengkrama bersama istri dan suami, ketika anak-anak membuat peer dari sekolah, atau saat para rentenir menawarkan utang. Dari lokasi itu juga, mereka mengantarkan para tetangga dan kerabat yang wafat dipanggil pemilik alam semesta. Mereka sudah lama di sana. Itu hanyalah pilihan lokasi yang tak menguntungkan karena ketiadaan tempat tinggal di Kota Medan yang semakin mahal, kian angkuh, dan tak ramah kepada mereka yang miskin dan berpenghasilan alakadarnya.
Ada yang mencibir, mereka sepatutnya pasrah digusur karena tanah itu memang bukan haknya. Saya maklum, Anda bicara soal mereka yang menempati lokasi yang disebut “tanah negara”, lalu tak membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB), dan sebagainya. Anda tampaknya bicara soal lembaran kertas yang dikeluarkan negara. Tapi, bagaimana Anda bicara “hak negara” terhadap mereka saat hak konstitutif mereka tak diberikan negara? Hak hidup, hak mendapat penghidupan yang layak, hak untuk sejahtera, hak untuk mendapat perlindungan, hak setara di depan hukum, hak mendapat pendidikan…
Anda ingin bicara hukum administratif, tapi Anda melupakan yang substansi. Anda mungkin saja ingin mengatakan, mereka adalah orang-orang bodoh, malas atau hanya mau enaknya saja. “Kalau mau sejahtera, ya, kerja keras. Kalau tak punya ketrampilan, ya, tak usah ke Kota Medan. Kerja saja di kampung. Dunia juga dipenuhi orang-orang yang tak beruntung,” mungkin begitu gumam Anda.
Saya kira, Anda mabuk. Anda tak menyadari kalau Anda telah membuka tirai besar berwarna hitam mengapa hal itu bisa terjadi. Anda bicara soal kebodohan, sementara mereka yang tak tinggi sekolahnya itu harus membanting tulang menyekolahkan anaknya. Bila Anda bilang mereka hanya mau enaknya saja, lalu mengapa mereka memilih untuk tidur setiap malam di tengah kebisingan dan gemuruh kereta api? Atau Anda mau mencoba merasakan itu sesekali?
Anda bilang soal keterampilan, minus etos kerja, kemalasan, dan urbanisasi ke kota-kota. Lalu, Anda juga bilang soal ketidakberuntungan. Kawan, apakah kau mengira mereka akan merampas pekerjaanmu yang nyaman itu? Apakah kau mengira mereka punya hasrat untuk menjadi manejer di Badan Usaha Milik Negara ataupun Daerah, atau di perusahaanmu yang gajinya selangit itu?
Tanyalah langsung kepada mereka. Mereka tahu diri. Mereka hanya menempati ruang terbawah dari mata pencaharian di kota ini; tukang becak, asongan, tukang parkir, satpam, supir, kernet, tukang bangunan, dan lain-lain, yang kaupun akan terbahak mengejek kalau itu disebut “profesi”.
Kawan, bahkan sebagian besar dari mereka pun tak bisa masuk ke ruang terbawah itu untuk bekerja. Level terbawah itu persaingannya bukan ijazah, seberapa kuat beking atau pengalaman seberapa lama kau berada di ruangan yang sejuk. Di sana bergelora persaingan yang berorama bau keringat dan darah. Survivalitas yang disebut Darwin itu, berlaku di sana: mereka yang mampu mengatasi seleksi alam yang kejam, akan lulus.
Kawan, mengapa kau enteng sekali mengatakan hidup ini dipenuhi orang-orang yang tak beruntung. Lalu, ketika mereka sudah tak beruntung di dunia ini, mengapa kau juga ingin mengusir dan mengambil hidup mereka? Lantas, ketika mereka berstatus orang-orang yang kalah, kau masih ingin mengubur mereka di tanah-tanah busuk? Kejam sekali dirimu.
Kau menyayangkan mereka keluar dari kampung yang indah dan memilih kota yang kejam? Kau sungguh beruntung, Kawan, karena mereka hanya memilih pinggir rel kereta api dan bukan tempat kediamanmu yang nyaman itu. Pernahkah kau bayangkan kalau mereka akan mendatangi kompleks perumahanmu dan mengusirmu dari sana? Sekali lagi, kau beruntung karena mereka hanya memilih pinggir rel kereta api.
Mereka tahu itu milik negara karena mereka masih memandang negara ini. Karena mereka ingin dipeluk dan diperhatikan oleh negara di lokasi yang dulunya bergelimang nyawa pejuang. Anda pasti pembaca sejarah, bukan? Anda pasti mafhum kalau pembuatan jalan rel kereta api itu mengorbankan jutaan warga pribumi dulu di masa penjajahan Belanda dan Jepang? Lalu ketika penjajah pergi, kepemilikan jadi milik negara. Dan kita, cucu-cucu para anak bangsa yang mengorbankan nyawanya itu, tak berhak sedikitpun terhadap negara ini? Ah, sembunyi di mana kemerdekaan itu?
Dan kau tahu, mereka pun tak sampai sejauh itu untuk merampas milik negara. Mana mungkin mereka berani berhadapan dengan bedil dan peluru. Mereka hanya ingin relokasi ke tempat yang layak. Layak itu bahasa konstitusi kita: penghidupan yang layak.
Tapi, bukankah kau yang hanya menghargai warga negaramu dengan uang Rp1,5 juta saja? Hitunglah, puing-puing rumah mereka yang akan kau gusur itu saja tak segitu harganya.
Lalu kau bertanya, mengapa pula negara yang harus memberi ganti rugi?
Tuan penguasa, apakah kau ingin hitung-hitungan dengan rakyat? Tuan, apakah kau ingin hitung-hitungan dengan nyawa rakyat yang telah dan siap-sedia mengorbankan diri untukmu? Apakah kau ingin berhitung dengan penderitaan mereka yang tak bersekolah karena kau tak mampu mendirikan sekolah dan menyediakan guru-guru di kampung mereka dulu? Apakah kau ingin berhitung dengan rusaknya jalan-jalan di kota-kota dan desa-desa? Apakah kau ingin berhitung dengan masjid dan mushalla yang dihancurkan atas nama pemilik modal? Apakah kau ingin berhitung dengan triliunan uang rakyat yang dirampok koruptor dan kau nikmati itu? Apakah kau ingin berhitung dengan perampokan kekayaan alam negeri ini sehingga rakyatmu hidup dalam kemiskinan? Pernahkah kau terpikir, setiap hari rakyat yang berada di pinggir rel itu menyaksikan berapa rupiah kekayaan alam negeri ini yang diangkut melalui kereta api barang dari dan menuju Belawan? Pernahkah kau terpikir mereka hanya menyaksikan saja setiap hari?
Tuan, apakah kau ingin hitung-hitungan dengan rakyat? (*)
Nirwansyah Putra
Ditulis pada April 2017, seiring penggusuran di kawasan pinggir rel di Kota Medan tahun itu. Diposting awal di blog tukangngarang dengan beberapa penyuntingan ulang.