MUSA begitu menakutkan penguasa bahkan ketika dia belum dilahirkan. Bisakah Anda bayangkan ketakutan itu melanda sesosok orang sekuasa Fir’aun? Dialah seorang raja diraja dalam sejarah umat manusia yang memaklumkan dirinya berada di atas puncak piramida kekuasaan dunia: meniadakan tuhan dan kemudian mengaku sebagai tuhan. Alexandre The Great atau Iskandar yang Agung, seorang penguasa yang menguasai Barat hingga Timur pun tak berani melangkah sejauh Fir’aun. Hitler? Tidak. Nebukednezar juga tidak. Julius Caesar apalagi. Bahkan Jenghis Khan, pemilik empirium terbesar di dunia, sekalipun tidak.
Tapi “tuhan” bermerk Mesir ini, harus menggigil setiap malam karena mendengar celoteh dukun peramal dari istana. Ah, mengapa Fir’aun percaya dengan ramalan itu? Bila dia tuhan, bukankah tuhan dapat dengan mudah merubah ruang-waktu serta ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya sesukanya? Fir’aun jiper, kata orang Medan.
Fir’aun percaya tapi menantang ramalan itu. Dia membunuhi semua bayi laki-laki di seluruh wilayah kekuasaanya. Biadab? Machiavelli akan menggeleng. Dia hanya sedang mengamankan dan memertahankan kekuasaannya. Jangan bicara moral terhadap Fir’aun.
Begitupun, Fir’aun kemudian tidak pernah menemukan bayi bernama Musa. Moses kata lidah Eropa, tetap hidup.
* * *
Menariknya, kisah Musa justru kontras dengan garis besar hikayat tokoh-tokoh yang merevolusi kekuasaan yang kebanyakan berasal dan besar di luar lingkar kekuasaan. Musa kebalikannya. Setelah hanyut di atas buaian Nil, Musa malah diasuh oleh orang yang setiap malam berada di ranjang yang sama dengan Fir’aun: istrinya Asiyah. Dia diasuh dan dibesarkan dalam sistem kekuasaan paling otoriter dan kejam di muka Bumi. Fir’aun dan Asiyah bak pepatah orang tua kita di sini: satu bantal dua mimpi.
Lalu, skenario ilahiah diejawantahkan dalam plot pertarungan ala duniawiyah. Musa tumbuh besar dan kuat. Dia lalu paham eksistensinya di muka bumi. Dan karena itu pula, Musa harus berhadap-hadapan langsung dengan Fir’aun.
Dalam bahasa Fir’aun, Musa adalah pemberontak, ekstrimis, radikal, fundamentalis dan stigma buruk lainnya. Tapi bagi pengikut Musa, Musa adalah seorang reformis sekaligus pemimpin revolusi, penggerak perubahan dari status quo kekuasaan. Dia memerjuangkan keadilan bagi kaumnya, melawan keangkuhan kuasa, emas yang melimpah-limpah, pasukan tentara dan polisi Mesir paling kukuh di muka bumi, cendekia penghamba istana, tukang-tukang sihir penipu yang menjadi manipulator citra kebengisan si penguasa lalim. Lihatlah topeng wajah emas sekaligus pahatan berbentuk ular kobra di atas mahkota yang ditemukan arkeolog pada makam Fir’aun di Piramida Mesir. Kekayaan, kejayaan sekaligus kengerian tergambar di sana.
Dalam kalkulator dunia, Musa dihitung kalah segala-segalanya. Tapi bukankah Tuhan adalah pencipta skenario yang sempurna? Simaklah plotnya: sejak semula para malaikat sudah membisikkan kabar bagi peramal yang berdiri di samping singgasana, lalu mengalirkan peti sampai ke depan istana, menghidupkan kasih sayang dan senyum teduh di hati dan bibir Asiyah yang kemudian menjadi ibu angkatnya. Ujung cerita, laut pun terbelah dan tenggelamlah Fir’aun dan seluruh pasukannya dalam samudra kepongahan.
Lalu, apa hebatnya Musa kalau semua telah disiapkan oleh Tuhan? Musa, mungkin, sekali lagi mungkin, saja tersenyum mendengar pertanyaan ini. Karena, bukankah itulah pertanyaan yang keluar dari pikiran ala Fir’aun: menyingkirkan lalu meniadakan eksistensi Tuhan dalam setiap proses perubahan sosial politik kekuasaan di atas dunia? Nyatalah sudah kalau sekulerisme yang mencampakkan agama dari politik kekuasaan adalah anak kandung kekuasaan berpaham Fir’aunisme. (*)
Nirwansyah Putra
~ indhie