Penulis: Nirwansyah Putra
Ada banyak cerita mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tindak-tanduknya sejak berdiri pada 1914 (masih bernama ISDV/Indonesische Social-Democratisehe Vereniging), hingga kisah tentang tokoh-tokohnya. Juga mengenai hubungan antara tokoh PKI dan tokoh-tokoh lain yang berideologi sosialis dan komunis yang bukan PKI maupun tersingkir dari PKI, serta hubungan dengan yang berideologi nasional dan agama. Satu di antara yang menarik adalah hubungan antara Dipa Nusantara (DN) Aidit dengan Mohammad Hatta, proklamator dan mantan Wakil Presiden.
Aidit adalah pemimpin PKI era 1950-1965. Bersama dua rekannya, Lukman dan Nyoto, Aidit memimpin PKI hingga kemudian tewas pada 22 November 1965. Dia ikut serta dalam dua pemberontakan PKI masa Indonesia merdeka: 1948 dan 1965.
Namun, hubungan Aidit-Hatta yang dimaksud agaknya lebih pada sebuah permusuhan. Bahkan, kalau merujuk beberapa sumber yang dikeluarkan oleh PKI dan Aidit sendiri, tergambar benar kebencian yang amat sangat dari seorang Aidit kepada Hatta. Titik kebencian ini tampaknya berpusat pada peristiwa yang mendahului Pemberontakan Madiun 1948 dan rentetan kejadian setelahnya.
Ceritanya, pada 1954, Aidit dituntut ke pengadilan dengan tuduhan menghina dan menyerang kehormatan Hatta yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Dia dituntut karena statemen yang dilontarkannya pada 13 September 1953 yang lalu dimuat Harian Rakjat (koran milik PKI) pada 14 September 1953. Dalam berita berjudul “Peringati Peristiwa Madiun secara Intern!”, Aidit menuding Hatta memprovokasi terjadinya peristiwa Madiun 1948. Aidit bahkan menyebut tangan Hatta “berlumuran darah” dan pemerintahannya adalah pemerintahan yang ganas.
Dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri, Jakarta tanggal 24 Pebruari 1955, Aidit bahkan tak menarik ucapannya. Dia menegaskan kembali statemennya itu. “Saya katakan bahwa Peristiwa Madiun adalah provokasi pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir,” kata dia dalam bukunya Menggugat Peristiwa Madiun; D.N. Aidit [24 Februari 1955] (1963). Buku ini diangkat dari pledoi pembelaannya.
Tanpa tedeng aling-aling, Aidit “menyemprot” Hatta (dan dua pemimpin Masyumi: Soekiman Wirjosandjojo dan Muhammad Natsir) merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap peristiwa berdarah itu. “Dua hal yang saya kemukakan ini lebih membikin terang, bahwa pembunuhan-pembunuhan itu benar-benar adalah perbuatan sewenang-wenang, dan sepenuhnya atas tanggung jawab pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir,” kata Aidit.
Aidit berkilah, statemen itu dimaksudkan untuk kepentingan umum dan pembelaan. “Berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP, dalam sidang tanggal 27 Januari itu juga sudah saya nyatakan kesediaan saya untuk membuktikan dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam peristiwa tersebut tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah,” tuding dia.
Aidit menghujat Hatta kalau tangan Hatta “berlumuran darah” karena dieksekusinya tokoh-tokoh PKI seperti Amir Sjarifuddin dan kader PKI lainnya akibat peristiwa Madiun. “Dengan ini menjadi jelas, bahwa memang benar dalam Peristiwa Madiun tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs berlumuran darah,” kata Aidit.
“Hal itu disebabkan karena cara-cara Aidit selama ini yang didasarkan kepada pengerahan-pengerahan massa berbondong-bondong, disertai agitasi dan teror mental, sehingga banyak orang hanya ikut-ikutan untuk mengamankan dirinya saja… Jadi kalau dalam rapat-rapat umum dan pidato-pidato yang hebat, nampaknya rakyat setuju semua. Tapi di luar itu rakyat sebenarnya jengkel..”
~ Muhammad Hatta
Kebencian Aidit pada Hatta tidak berhenti di titik personal melainkan juga pada pemerintahan Hatta-Sukiman-Natsir yang dinilainya sebagai pemerintahan yang ganas.
“Kami menggunakan perkataan provokasi karena yang kami maksud memang provokasi, kami menggunakan perkataan keganasan pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir karena kami berpendapat bahwa pemerintah itu memang ganas, kami mengatakan bahwa pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir telah ‘berjasa’ menimbulkan perang saudara…” demikian tudingan Aidit.
Tak tanggung-tanggung, Aidit bahkan menuding Hatta telah berselingkuh dengan Amerika Serikat dalam sebuah pertemuan yang diklaimnya terjadi di Sarangan pada 21 Juli 1948. Aidit menuduh Hatta telah berkhianat kepada negara.
Berikut di antara kalimat Aidit dalam bukunya:
“Dengan kekuasaan pemerintah di dalam tangannya kaum reaksioner meneruskan pengkhianatannya terhadap revolusi dan terhadap tanah air. Pada tanggal 21 Juli 1948 di Sarangan (Madiun) diselenggarakan konferensi rahasia antara G. Hopkins (penasihat politik luar negeri Truman) dan M. Cochran (wakil Amerika dalam Komisi Jasa-Jasa Baik) di satu pihak dengan pihak pemerintah Indonesia yang dikepalai oleh Hatta, yang pada waktu itu sebagai Perdana Menteri. Hadir dalam konferensi ini pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Sukiman, Natsir dan Mohamad Roam. Konferensi serangan yang rahasia ini telah menelurkan putusan jahat yang keji, yang diberi nama “Red Drive Proposals”…”
(baca juga: Abdul Haris Nasution, Gerilya Menyelamatkan Indonesia)
Tuduhan-tuduhan Aidit di atas tampak berapi-api. Apalagi bila dibandingkan dengan pidato-pidato agitatif Aidit dan tokoh-tokoh PKI yang lainnya yang menyuratkan hujatan dan kebencian terhadap siapapun yang tidak cocok dan berlawanan dengan PKI.
Peristiwa Madiun memang mengakibatkan banyak tokoh PKI dieksekusi. Pemerintah tak bisa berlama-lama mengurus pemberontakan itu karena Belanda sudah menyerang kembali melalui Agresi Militer II.
Hatta sendiri dalam bukunya Bung Hatta Menjawab (1978), mengatakan bahwa dia mengetahui bahwa tujuan PKI adalah merebut kekuasaan, berikut usaha-usaha agitasi dan teror mental yang menyertainya. Menurut Hatta, tindakan rakyat yang selama ini tertekan dan kemudian membalas tidak tanggung-tanggung, menunjukkan bahwa perkiraan Aidit tidak benar. Rakyat dulu yang dikira Aidit berada di belakangnya, ternyata tidak sebanyak yang diperkirakan Aidit.
“Hal itu disebabkan karena cara-cara Aidit selama ini yang didasarkan kepada pengerahan-pengerahan massa berbondong-bondong, disertai agitasi dan teror mental, sehingga banyak orang hanya ikut-ikutan untuk mengamankan dirinya saja,” kata Hatta dalam bukunya. “Jadi kalau dalam rapat-rapat umum dan pidato-pidato yang hebat, nampaknya rakyat setuju semua. Tapi di luar itu rakyat sebenarnya jengkel. Ini kurang diketahui oleh PKI.”
Aidit sendiri lolos dari penumpasan oleh TNI di Madiun. Dia berhasil kabur ke China bersama Nyoto. Sejak pemberontakan 1965, PKI pun dinyatakan sebagai partai terlarang hingga kini. Kali ini, Aidit tak bisa lolos lagi. (*)