AKU NEGARA: L’etat, c’est moi

Militer adalah azimat kuno kekuasaan, seberapa kuat pun orang-orang melawan ide itu.
Lukisan sosok Louis XIV (kanan) dan iring-iringannya saat menuju istana (kiri). [ILUSTRASI, sumber foto: wikipedia]


Nirwansyah Putra
~ indhie


 

L’état, c’est moi. Negara adalah aku, aku adalah negara. Kalimat legendaris yang terlanjur dinisbahkan pada seorang Raja Perancis, Louis XIV (1638–1715). Dia punya sebutan lain Louis le Grand (Louis yang Agung) dan le Roi-Soleil (Putra Matahari). Dari lukisan yang menggurat wajah dan perawakannya, timbul dua sosok: tampan dan gagah sekaligus jelek dan lemah.

Para pelukis mungkin terbagi dua pandang mata: bagi yang takut dan penjilat akan melihatnya sebagai seorang raja yang tak bisa disanggah, sebagai komandan yang garang dengan tubuh atletis. Atau sebaliknya, pelukis akan menggambarkan citra yang buruk karena membencinya sebagai seorang yang kejam.

Rambutnya keriting. Perutnya membuncit, perut khas seorang raja yang sering dinisbahkan dengan otoritarianisme dan diktatoriat. Sebuah perlambang bahwa kekuasaan absolut yang melingkupi dirinya itu, tak membuatnya harus bergerak ke mana-mana. Cukup menjentikkan jari ataupun memandang maka bawahan harus sudah bisa menafsirkan apa yang diperintahkannya. Perut yang menceritakan sebuah ketamakan.

Kekuasaannya berumur panjang, 72 tahun 110 hari, sebuah periode terlama yang tercatat untuk kerajaan-kerajaan besar di Eropa. Menggantikan ayahnya, Louis XIII, dia menjadi raja sebelum dewasa. Baru ketika berumur 21 tahun, setelah Kardinal Mazarin yang memegang kekuasaan dalam jabatannya sebagai Perdana Menteri mangkat, Louis XIV memegang kekuasaan Perancis secara mutlak.



Louis XIV diceritakan sebagai seorang kristiani yang taat. Meski, sebagai seorang pendukung gereja Gallican, dia bersikap independen terhadap kekuasaan agamawi dari Katolik Roma. Orang mungkin akan memandangnya sebagai seorang sekuler, memisahkan kekuasaan politik dan agama. Meski saleh, kerajaan sebagai institusi kekuasaan politik tak bisa dijatuhkan oleh agama. Toh, seorang raja dilingkupi hak ilahi yang tak dimiliki oleh orang lain. Seorang yang sangat khusus. Bagi Louis, tentu itu bukan mitos seperti dianggap sebagian orang.

Kekuasaan yang sangat besar memerlukan kekuatan yang digdaya pula. Orang tak mungkin mampu berdiri kalau tak mempunyai pijakan yang kukuh. Memang ada cara lain yaitu bersandar pada pilar dan bergantung pada sesuatu di atasnya. Tapi tentu, itu adalah suatu kelemahan. Pijakan yang kuat dibuktikan melalui tantangan.

Karena itu, perang adalah konsekuensi sekaligus metode yang harus dimenangkan. Militer adalah azimat kuno kekuasaan, seberapa kuat pun orang-orang melawan ide itu. Kekuasaan Louis XIV berdiri di atas peperangan, lagi, lagi, dan lagi. Bila sedang tidak berperang, maka itu justru digunakannya untuk menyiapkan perang berikutnya.

Selain membentengi kekuasaan negara, dia juga mengitari dirinya dengan pasukan dan penjaga yang setia. Ini adalah prasyarat untuk kekuasaan yang langgeng cukup lama. Jamak dalam hikayat, bahwa perebutan dan jatuh bangunnya kekuasaan politik bukanlah didominasi oleh pihak yang berada di luar kekuasaan melainkan di bawah ketiak penguasa itu sendiri. Seperti Brutus terhadap Julius Caesar di Roma.

Tapi Louis XIV tidaklah mati di medan pertempuran ataupun karena sabetan pedang seperti yang diidam-idamkan prajurit dan perwira. Dia mengidap diabetes dan komplikasi penyakit lainnya. Badannya membusuk. Dia kalah oleh tubuhnya sendiri.

Bila kalimatnya yang termasyhur itu, L’etat c’est moi, benar diarahkan pada dirinya, maka Perancis sebagai sebuah negara waktu itu juga ikut membusuk dan hancur disebabkan persoalan dalam negara itu sendiri. Pada 1792, cucunya, Louis XVI, dipenggal rakyat Perancis dalam Revolusi Perancis yang dimulai pada 1789. Revolusi itu rusuh dan berdarah-darah, meski semboyan manis liberté (kebebasan), égalité (kesetaraan), fraternité (persaudaraan) mendayu-dayu di angkasa.

Lalu, muncullah Napoleon, menerapkan gaya baru: diktator yang konstitusional. Mulanya republik tapi disulap menjadi sebuah kekaisaran. (*)

Cari di INDHIE

2 Trackbacks / Pingbacks

  1. Adil, la – indhie
  2. Campurkan yang Empat Alam, Hancurkan di Laut Dalam – indhie

Leave a Reply