Radikal? – indhie.com

Radikal?

Kartosoewirjo dari awal memang menginginkan Indonesia merdeka berdasar pada Islam. Dia tak sendirian dalam hal itu.
ilustrasi


Nirwansyah Putra
~ indhie


SALAH seorang Ketua PP Muhammadiyah, Prof Bahtiar Effendy, wafat belum lama ini. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Inilah salah seorang dari banyak cendekiawan Muhammadiyah yang pemikirannya banyak menjadi referensi akademisi di Indonesia dan asing. Inilah salah satu hasil regenerasi pemikiran yang selalu ada di Muhammadiyah. Alhamdulillah.

Menurut Bahtiar, secara garis besar, ada dua spektrum pemikiran politik Islam. Pertama, pemikiran bahwa Islam harus menjadi dasar negara dan kedua, pandangan bahwa Islam tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik. Untuk Indonesia, Bahtiar mengumpulkan lima pendekatan untuk melihat hubungan antara Islam dan Politik yakni dekonfessionalisasi, domestikasi Islam, skismatik aliran, trikotomi dan Islam kultural.

Dalam spektrum pertama itu, paling tidak ada dua pola gerakan: jalur militer dan konstitusional. Jalur militer utamanya ditempuh Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII) yang sudah dimulai pada 7 Agustus 1942 oleh SM Kartosoewirjo di Jawa Barat, dan dideklarasikan pada 7 Agustus 1949. Kartosoewirjo mengambil jalur konfrontasi langsung dengan negara, apakah itu terhadap Jepang, Belanda dan Indonesia pasca proklamasi. Meneliti Kartosoewirjo akan menarik karena dirinya dan Sukarno –sosok yang menandatangani eksekusi mati dirinya—adalah teman sekaligus berguru pada tokoh yang sama, HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Kartosoewirjo adalah sekretaris Tjokro, sedangkan Sukarno adalah menantu Tjokro.



Kartosoewirjo dari awal memang menginginkan Indonesia merdeka berdasar pada Islam. Dia tak sendirian dalam hal itu. Bila dirunut ke belakang, tokoh-tokoh Islam di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan kemudian Konstituante pasca Pemilu 1955, akan memenuhi daftar tokoh Islam yang menginginkan Indonesia berdasar pada Islam. Di antara yang paling mengemuka adalah sosok Ki Bagus Hadikusumo yang saat menjadi anggota BPUPKI-PPKI berposisi sebagai Ketua PB Muhammadiyah. Hal ini menandai pula pola kedua dari spektrum pertama ini, yaitu jalur konstitusional.

BPUPKI telah menjadi wadah pertarungan ideologis sebelum Indonesia merdeka. Tidak ada sosok Kartosoewirjo dalam institusi ini. Dua ideologi yang menonjol waktu itu yakni ideologi Islam dan nasionalis. Tarik-menarik, lobi dan perdebatan para pendiri bangsa ini, kemudian menghasilkan Piagam Jakarta. Namun, pada sidang PPKI sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang mengesahkan UUD 1945 berikut mukaddimahnya, sejumlah frasa dalam Piagam Jakarta uniknya mengalami perubahan mendasar lagi. Gerakan konstitusional untuk merubah dasar negara lalu muncul lagi di sidang Konstituante pasca Pemilu 1955. Bila di masa BPUPKI-PPKI, maka Ki Bagus Hadikusumo menjadi bintangnya, maka kini giliran generasi berikutnya seperti Hamka dan Mohammad Natsir pula yang mengemuka. Seperti diketahui, Konstituante dibubarkan oleh Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Indonesia masuk ke era Demokrasi Terpimpin yang memerlihatkan dominasi Sukarno di kekuasaan.

Ketika Anda meneliti politik Islam di Indonesia, maka, bila ada pandangan bahwa ideologi Islam sebagai dasar negara hanyalah sesuatu yang diimpor dan dibawa oleh mantan kombatan dari Timur Tengah hingga Asia Barat, misalnya dari Al-Qaeda ataupun ISIS, maka sesungguhnya pandangan ini parsial alias sepenggal-sepenggal dan cenderung manipulatif. Itu karena pandangan itu tidak merangkum secara jauh dan mendalam mengenai masa fase-fase di Indonesia merdeka, Indonesia zaman Jepang, masa Hindia Belanda hingga Indonesia saat masih berupa kerajaan-kerajaan Islam di seluruh nusantara.

Lagipula, Anda mesti menyadari bahwa Ki Bagus Hadikusumo pada 2015, Hamka pada 2011 dan Mohammad Natsir di 2008 –untuk menyebut tiga dari banyak sosok yang memerjuangkan Islam sebagai dasar negara secara konstitusional dan bukan kekerasan militer– digelari Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Karena itu, Anda mesti benar-benar paham konteks kata “radikal” di negeri ini. (*)

Leave a Reply