JAKARTA | Kebijakan Restorative Justice (RJ, Keadilan Restoratif) sebagai salah satu alternatif penyelesaian hukum, menuai respon positif masyarakat. Dengan pertimbangan kemanfaatan bagi masyarakat, Jaksa Agung (JA), Prof Dr ST Burhanuddin SH, menilai, ruang lingkup dan cakupan RJ perlu diperluas, sehingga kemanfaatan penegakan hukum yang berhati nurani dapat dirasakan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas lagi.
JA telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) untuk membentuk Kampung Restorative Justice. JA juga telah menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Demikian dikatakan JA, ST Burhanuddin, dalam keterangan pers resmi yang disiarkan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak SH MH, di Jakarta pada Kamis (27/1/2022).
Burhanuddin menyampaikan, penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, tetapi juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan. Jaksa Agung menginginkan kehadiran jaksa di tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga kemanfaatan hukum.
“Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ujar Burhanuddin saat kunjungannya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, pada Selasa (25/1/2022) lalu.
Burhanuddin meminta Kajati dan Kajari untuk mencermati rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. “Salah satu tolok ukur terpenuhinya rasa keadilan adalah ketika penegakan hukum yang dilakukan diterima dan dirasa manfaatnya oleh masyarakat,” ujar Burhanuddin.
Mengenai penerapan keadilan restoratif, Burhanuddin menyampaikan, sejak diterbitkan sampai dengan 21 Januari 2022 tercatat sebanyak 13 perkara berhasil diselesaikan dengan RJ di lingkungan Kejati Jawa Barat dan disambut baik oleh masyarakat. “Namun saya ingatkan agar saudara juga perlu mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan mekanisme RJ, dan penegakan hukum harus berjalan objektif dan profesional meskipun mendapat tekanan,” tegas Burhanuddin.
Burhanuddin menekankan, apabila terdapat perkara yang menarik perhatian masyarakat dan berpotensi menimbulkan kegaduhan, maka jajaran diminta segera mengambil langkah taktis secara cepat dengan mengedukasi dan menjelaskan duduk perkara melalui media massa, sehingga masyarakat mengerti dan mendukung langkah Kejaksaan menuntaskan perkara tersebut di pengadilan.
* * *
Sementara itu, Jampidum, Dr Fadil Zumhana SH, membenarkan bahwa Jaksa Agung telah memerintahkan untuk mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice/RJ). Menurut Dr Fadil, RJ ini adalah kemampuan Jaksa mengasah kearifan lokal, di mana setiap daerah memiliki kearifan lokal dan harus diasah dalam mewujudkan keadilan.
“Jaksa harus bisa mengasah kearifan lokal dalam hal memberikan keadilan restoratif pada suatu perkara itu atau belum jadi perkara. Lalu peran Jaksa dalam kampung restorative justice haruslah proaktif dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang dialami rakyat kita. Selesaikan melalui kearifan,” ujar Dr Fadil.
Fadil menyebutkan, dengan adanya kampung restorative justice, diharapkan 1/3 masalah dapat diselesaikan Kejaksaan dengan mengasah kearifan lokal. Selain itu, institusi Kejaksaan dapat berkontribusi untuk memberikan keadilan yang terasa, cepat, tanpa biaya, dan sederhana kepada masyarakat serta juga kontribusi kepada Pemerintah dalam mengatasi over crowded dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ataupun Rumah Tahanan Negara (Rutan) sehingga juga berakibat pada biaya yang dikeluarkan negara dan tenaga penjaga (sipir) di Lapas maupun di Rutan.
Disebutkan, Pedoman No. 18/2021 bertujuan untuk terciptanya pemulihan, baik itu pemulihan keadilan, pemulihan mental, dan pemulihan kesehatan penyalahguna, sehingga diharapkan mampu menghadirkan kemanfaatan hukum. (*)