“Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka untuk kaum proletar.”
Demikian ditulis Tan Malaka di awal Bab Di Deli dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara [1947] (2017). Deli waktu itu memang daerah yang kaya perkebunan. Menurut Tan, sewaktu dia di sana (mulai Desember 1919) sudah sudah ada 500 perkebunan di Deli. Sekarang, wilayah Deli ini secara administratif masuk ke wilayah Provinsi Sumatera Utara khususnya Kota Medan dan beberapa bagian kabupaten Deliserdang. Kedua kota dan kabupaten ini memang bersebelah-sebelahan.
Tan Malaka adalah seorang Minangkabau, lahir di Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Dalam seri buku Tempo berjudul Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan (2010), teman Tan Malaka, Djamaluddin Tamim, menyebut tanggal kelahiran Tan adalah 2 Juni 1897. Ayah Tan berasal dari marga Chaniago dan ibunya, Sinah, dari marga Simabur. Dia tinggal di rumah gadang di Nagari Pandan Gadang. Nama kecilnya adalah Ibrahim, dan setelah besar dia mendapat Datuk, tepatnya Datuk Tan Malaka.
Dia mendapat gelar itu saat dipanggil pulang ke Nagari Pandang Gadang. Waktu itu, dia belum genap berumur 17 tahun. Penobatannya digelar pada 1913 setelah dia selesai sekolah di Bukit Tinggi dan akan melanjut ke Belanda. Dari Belanda ini, pada November 1919 dia pergi ke negeri Deli untuk menjadi Asisten Pengawas Sekolah di Perkebunan Manembah Mij, Tanjung Morawa. Tan menyatakan, dia di Deli sejak Desember 1919.
Ini kesan yang dituliskannya di buku otobiografinya itu:
“Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka untuk kaum proletar. Deli, sejak saya di sana (Desember 1919 sampai Juni 1921), menimbulkan kenangan yang menyedihkan. Di sana terlihat pertentangan tajam antara modal dan tenaga, serta antara penjajah dan yang terjajah. Kekayaan bumi dan iklimnya menjadikan Deli sebagai alat oleh golongan pengusaha penjajah yang paling kaya, paling sombong, ceroboh dan paling kolot dalam satu kutub. Di kutub lain berada golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas, dan terhina, kuli kontrak. Mengambil contoh pada alam sekitarnya, Indonesia yang disebut Belanda sebagai bangsa yang paling lunak di dunia, setelah menderita akibat siksaan, maka sifatnya berubah seperti kerbau menyerang dengan tanduknya dan menginjak-injak lawannya. Ketika saya berada di sana setiap tahun 100 hingga 200 orang Belanda mati atau luka diserang kuli.
Apa yang tidak ada di Deli? Inilah yang harus kita tanyakan. Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat beberapa tambah minyak bumi yang berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak. Kalau saya tidak salah, di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat tambang biji besi, seperti di Singkep, Bangka, dan Belitung dan di Jambi terdapat tambang timah. Bauksit ada di Riau dan alumunium di Asahan, Deli. Jika disambungkan dengan batubara di Sawah Lunto atau air terjun sungai Asahan yang mempunyai kekuatan kedua atau ketiga di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat dibangun segala macam industri berat, Apalagi kalau nanti dapat dihubungkan dengan logam besi, timah dan lain-lainnya dari tanah Melayu yang berdekatan serta kaitan yang erat dalam sejarah.
Tetapi mata Belanda tak memandang dan memang tidak mungkin mempunyai pandangan ke sana, bergerak ke arah industri berat dengan menanggung beban serta kesulitan pada awalnya. Biasanya Belanda tertarik oleh perusahaan y ang mudah, sedikit resikonya tetapi yang besar untungnya (monopoli); cepat dapat dikerjakan dan menerima hasilnya, tetapi lambat atau mustahil timbul persaingan (concurentie).
Semua syarat yang cocok dengan semangat krudenier bisa dijumpai di Deli. Tembakau yang pertama kali memenuhi semua syarat itu. Sebagai dekblad, daun pembungkus cerutu Manila, tembakau Deli mempunyai kedudukan istimewa di pasar dunia…”
Tan Malaka melanjutkan dalam paragraf-paragraf berikutnya:
“… Saya tidak memiliki data statistik yang dapat menjelaskan keadaan suhu dan iklim di Deli, bahan logam yang tersimpan di perut bumi, pertumbuhan penduduknya, perusahaan, perkebunan dan perdagangan dalam tiga perempat abad yang lalu. Saya cukup mengemukakan beberapa catatan yang disimpan dalam kepala hampir 30 tahun untuk sekadar menggambarkan suasana Deli ketika saya berada di sana.
Pada saat itu di Deli terdapat sekitar 500 perkebunan yang pengangkutannya lancar sekali. Di darat dilakukan dengan mobil dan truk yang menbhubungkan ratusan kebun tersebut dengan Deli-Spoor.
Belawan termasuk pelabuhan yang besar di Indonesia. Kalau tidak salah, dalam ekspor pada tahun 1927, Deli sudah menyamai Pulau Jawa. Diperkirakan jumlah kuli perkebunan, tambang minyak dan pengangkutan pada masa itu 400 ribu orang. Kalau dihitung secara secara sederhana, tiap-tiap kuli (kuli kontrak atau bekas kontrak) mempunyai seorang anak saja, maka jumlah penduduk Deli yang ditaksir berjumlah 2 juta orang yang terdiri dari hampir seluruh suku bangsa di Indonesia (Jawa, Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Melayu-Deli, dan lain-lain), dan sekitar 60% adalah keluarga proletar tulen. Deli adalah daerah bangsa Indonesia dalam arti nasionalisme modern dan daerah proletar yang sesungguhnya…
Di pucuk borjuis Eropa, duduk tinggi di atas takhta, jauh di Belanda atau negara lain, Mahabesar yang oleh kuli kontrak digelar tuan Maskapai, directeur dalam bahasa Belandanya. Di bawahnya, sebagai raja muda yang berkedudukan di Deli ialah tuan kebun (Hoold-Administrareur). Sedangkan julukan untuk orang Indonesia yang cukup mengandung kehormatan ialah tuan besar atau hanya sebagai administrareur. Senembah-Mij yang terdiri dari beberapa cabang mempunyai beberapa tuan besar pula. Sebagai kelengkapan kaum kapitalis itu, masih ada tambahannya yang dijuluki tuan-kecil, asisten. Di sini julukan kecil jangan ditafsirkan dengan arti hina. Kecil artinya muda, seperti jukukan Raja-Muda, ialah calon. Semua bekas lanterfanters, deugh voor-nets dan schlemiels di negeri Belanda, ada harapan untuk menjadi tuan-tuan kecil itu ialah calon kapitalis Deli.
Dengan penuh dengan lanterfanters dan schiemiels Belanda. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras. Inilah gambaran borjuis gembel di Deli. Mereka dapat lekas kaya, karena gaji besar dan mendapat bagian tetap dari keuntungan, apabila telah bekerja untuk setahun saja…”
Jiwa Tan kelihatan terus-menerus gelisah melihat kondisi pribumi sebangsanya. Dia kian dekat dengan para kuli dan menulis di koran-koran. Aktivitasnya itu mengakibatkan Tan mendapat serangkaian serangan dan fitnah dari komplotan yang memang sudah tidak suka kepadanya di perkebunan.
Pada Juni 1921, Tan meninggalkan Deli menuju pulau Jawa. ” (*)