Sutan Sjahrir di Kota Medan, Suatu Ketika… – indhie.com

Sutan Sjahrir di Kota Medan, Suatu Ketika…

Di Kota Medan, Sutan Sjahrir menghabiskan masa kecil dan remajanya sekitar 12 tahun lebih, 1914-1926. Dia dulu tinggal di Gang Mantri, Kampung Aur. Sjahrir disebut berada dalam dunia Art Noeveau tropis di masa awal hidupnya. Inilah kota tempat Sjahrir tumbuh.
Sutan Sjahrir [Foto: Repro buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, 2010]

SUTAN Sjahrir dilahirkan di perumahan jaksa di jalan Air Matakucing, Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909. Ayahnya, Moehammad Rasad gelar Maharaja Soetan, seorang pria Minangkabau, bekerja sebagai jaksa. Ibunya, Siti Rabiah, seorang keturunan bangsawan yang lahir di Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut). Mengikut ayahnya yang seorang jaksa, Sjahrir kecil pindah ke Jambi sebelum pindah ke Medan, Sumut, pada 1914. Waktu itu, Sjahrir sudah berusia empat tahun.

Menurut buku biografi Sjahrir yang ditulis Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996), Sjahrir tinggal di Gang Mantri, Kampung Aur. Mrazek mendasarkan informasi itu dari surat H Muhammad Said, pendiri koran Waspada di Medan, kepada dirinya. Lokasi itu berada di tengah Kota Medan, hanya beberapa ratus meter dari pusat pemerintahan kota Medan waktu itu dan juga saat ini.  Juga bersebelahan -dengan dibatasi sungai Babura- dengan pemukiman pembesar dan elit Belanda serta orang Eropa di kawasan yang sekarang berada di koridor jalan Letjend Soeprapto – Jl Jenderal Sudirman, dan sekitarnya yang saat ini menjadi kawasan rumah dinas Gubernur Sumut, Wali Kota Medan, Pangdam I/Bukit Barisan, Kapolda Sumut, dan lain-lain. Kini, Kampung Aur masuk dalam wilayah Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan.

Sjahrir cukup lama tinggal di Kota Medan, 1914-1926, atau sekitar 12 tahun lebih. Dengan masa yang cukup panjang itu, lebih satu dasawarsa, masuk akal kalau Kota Medan telah membentuk Sjahrir secara sosiologis dan psikologis di masa awal pertumbuhan, kala kecil hingga remaja. Sebuah periode yang sering dikatakan memola watak kepribadian seseorang.

Sutan Sjahrir (paling depan) dan keluarga saat di rumahnya di Medan.
[Foto: Repro buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, 2010]
Buku Rudolf Mrazek memang tak memberikan informasi langsung dari mulut Sjahrir tentang bagaimana Sjahrir menggambarkan Kota Medan atau rincian tempatnya menghabiskan masa kecil dan remaja.  Namun, dengan mengandalkan begitu banyak sumber rujukan, Mrazek melukis dan memberi bingkai sebuah kota di mana Sjahrir hidup dan tumbuh di dalamnya.

Mrazek menulis, pada tahun 1015, di usia enam tahun, Sjahrir masuk ke sekolah terbaik yang ada di Medan, Europeesche Lagere School (ELS, sekolah rendah Eropa). Dia masuk sekolah dasar lanjutan (tingkat menengah), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Sjahrir lulus tahun 1923. Tentu, Sjahrir tidak hanya sekolah di sana, melainkan hidup tumbuh dalam arti yang sebenarnya. “Antara usia enam hingga dua belas, tiap hari setelah mengikuti pelajaran dalam sekolah gaya Belandanya, Sjahrir menanggalkan celana dan jasnya untuk menyeberang jalan guna mengikuti pelajaran mengaji,” tulis Mrazek.

Sjahrir melahap begitu banyak buku. Menurut Mrazek, pada tahun 1915, ketika Sjahrir baru masuk ELS, sebuah  Perpustakaan Bagi Bumiputra Berbasa Belanda (Bibliotheek voor Nederlands-lezende Inheemsen), mulai melakukan penerbitan kisah petualangan anak-anak, yang disebarkan di Hindia, terutama di kalangan siswa ELS dan MULO. Ratusan buku dan novel kanak-kanak Belanda yang ditelah dibacanya di masa remaja, tulis Mrazek dalam bukunya itu.



Sjahrir suka bermain bola dan biola. Terkadang dia menggesek biola bersama ibunya yang bermain Akordion. Dia sering bermain di hadapan orang-orang Eropa di Hotel De Boer (Hotel Dharma Deli sekarang) untuk mendapat uang saku. Ini hotel yang mewah untuk ukuran waktu itu bahkan hingga kini. “Hotel De Boer (Hotel Petani) Medan yang mewah dan sangat kolonial, yang hanya boleh dimasuki orang kulit putih, kecuali tentu para pelayan dan musisi,” begitu ditulis dalam buku biografi Sjahrir.

Dalam catatan kaki Mrazek, beberapa piringan hitam disenandungkan di Medan pada 1925 misalnya “What Do You Do Sunday, Mary?”, “Indian Pawn”, “Peter Pan”, “That’s What Will I Do”, “Alabama Band”, dan lain-lain.

Sutan Sjahrir dan Sultan Hamengkubowo IX. [Foto: Repro buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, 2010]
Tidak hanya musik, gaya flamboyan Medan waktu itu juga terpengaruh mode Eropa dari film-film yang ditayangkan di bioskop-bioskop. Dalam catatan kaki buku Mrazek, dia menulis, dalam jurnal Andalas 1928 ditemukan judul film “Jusuf” (dari Mesir) dimainkan di bioskop Oranje, “Tom Mix” di bioskop Deli, “Jack Dempsey” di bioskop Tjong Koeng, dan “Politie Setan” di bioskop Royyal. “Bagi Sjahrir muda, mengalami Medan di tahun 1910-an dan 1920-an adalah mengalami rantau serta ‘etis’ baru,” tulis Mrazek.

“Medan mudah disebut sebagai kota teladan dari ‘kewarasan’, ‘evolusi’, dan ‘Kemajuan’,” tulis Mrazek.

Mrazek melanjutkan:

“Baru dibangun setelah tahun 1860-an, kota ini bangkit dalam 20 tahun terakhir abad itu: penduduk Eropa di Medan menjadi enam kali lipat pada masa itu, sedangkan penduduk Asia bertumbuh 30 kali lipat. Pada pertengahan tahun 1920-an, Medan diakui sebagai pemukiman paling ‘kota’ di Sumatra, dan –selain Batavia, Surabaya dan Semarang—paling ‘kota’ besar di seluruh kepulauan Hindia. Pada tahun 1913, ‘kuli-kuli bebas’ –bukan narapidana—mulai dikerahkan untuk membersihkan jalan-jalan kota, dan pada tahun 1928 mobil mulai digunakan untuk itu. Pada tahun 1924, Sjahrir pastilah menyaksikan lapangan pacu utama di Medan (saat ini bernama bandara Polonia, red) yang dipilih sebagai penghentian pertama bagi penerbangan lintas Euro-Asia yang baru dibuka di Hindia Belanda. Pendaratan itu dirayakan secara besar-besaran di seluruh kota itu pada tanggal 21 November.”

Mengutip ensiklopedi Hindia Belanda (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indhie), Mrazek menulis, kota ini mempunyai sifat yang sangat khusus. “Kota ini tak menyerupai kota Eropa atau khas kota Hindia. Penataannya yang teratur terjaga sedari awal menurut rencana, dan kerapiannya (netheid) merupakan kelebihan kota ini dibanding dengan kota-kota besar lainnya di Hinda… Ia juga memiliki satuan sukarelawan pemadan kebakaran, yang tersendiri di Hindia,” kutip Mrazek dalam catatan kakinya.

Agus Salim, Sutan Sjahrir dan di belakangnya Soemitro Djojohadikusumo. [Foto: Acme Newspictures/United Press International/nationaalarchief.nl]
Bagaimana orang-orangnya?

“Di Timur, daerah ini dikenal sebagai ‘keajaiban Deli’. Perkebunan kopi, tembakau, dan karet, yang ditata secara teratur dan dihubungkan dengan kereta api, mengelilingi Medan. Para pejabat, saudagar, pengusaha perkebunan, dan kuli, yang jumlah keseluruhannya lebih dari 250 ribu orang, menghuni tempat itu. Rangkaian gelombang lonjakan usaha dan kebangkrutan kaum kapitalis silih berganti, namun depresi pascaperang baru saja diatasi pada pertengahan tahun 1920-an, yakni selama masa tinggal Sjahrir di Medan, dan optimisme terasa di mana-di mana,” tulis Mrazek.

Mrazek menggambarkan tipologi orang-orang yang datang merantau ke Medan, tidak hanya dari internal kawasan Hindia Belanda maupun orang elit Eropa. Dia lalu mengutip kalimat Tan Malaka yang menulis, “Tiap Belanda yang luntang-lantung bisa menjadi Tuan Besar di Deli.” Pemakaian kata “luntang-lantung” itu tentu akan menarik untuk dibahas dalam ruang tulisan tersendiri.

Para pengusaha perkebunan berjudi di pacuan kuda, bermain sepakbola, tenis, kasti dan berlayar. Para pengusaha perkebunan dan orang-orang Eropa serta pendatang lainnya yang menghuni Medan itu digambarkan Mrazek -dengan mengutip penulis lain-  sebagai “tak punya kaitan yang jelas dengan masyarakat manapun. Juga bukan daerah persinggahan.” “Tak seorangpun yang termasuk: mereka datang dari tempat-tempat lain dan berhasrat menuju tempat-tempat lain,” tulis Mrazek.

Masih menurut Mrazek, pengusaha kebun bersepatu bot bisa saja muncul dalam konser piano, di suatu salon ”etis”, atau pada salah satu konser bulanan Beethoven atau Schubert pada Orkestra Pantai Timur (Muziekkorps Sumatra Oostkust) dari Masyarakat Seni Deli (Delische Kunstkring). “Sjahrir benar-benar berada dalam dunia art noeveau tropis di masa awal hidupnya,” tulis Mrazek.

Art Nouveau merupakan suatu gelombang seni gaya baru yang menular pada hampir seluruh karya seni, arsitektur, desain, dekorasi, kerajinan, sampai pada peralatan dan perlengkapan rumah tangga yang mengemuka sepanjang 1890–1910, suatu peralihan menuju masa modern abad ke-20. Seni telah diberlakukan sebagai suatu cara hidup.

“Medan adalah tempat yang ‘aneh’,” sambung Mrazek, “Ada orang China, Jepang, Minangkabau, Batak, Indo Belanda dan Eropa, banyak di antaranya bukan orang Belanda. Bahasa Inggris banyak digunakan di Medan.”

Kota Medan dengan Lapangan Merdeka dan jalur kereta api, difoto pada Juni 1947. [Foto: nationaalarchief.nl]
Pada peralihan abad lalu (abad ke-20), menurut Mrazek, Medan telah menjadi model bagi wilayah baru koloni Belanda. Juga, untuk sebagian orang Asia maupun orang Barat, Medan telah menjadi tempat perbauran (melting pot) di mana suatu bangsa baru yang modern bisa tumbuh.

“Maka sama dengan para pengusaha perkebunan di Medan, keramaian bumiputra di tempat ini juga dilihat sebagai een nieuw mensentype, ‘sejenis manusia baru’ yang sedang bangkit di Timur. Perantau Minang, menurut pengakuan umum dan menurut keyakinan mereka sendiri, adalah unsur paling dinamis dari manusia ‘Indonesia’ baru di Medan,” papar Mrazek.

Begitulah. Episode Sjahrir berada di Medan berakhir pada 1926. Setelah menamatkan sekolah menengah, berbekal 12 tahun lebih tumbuh di Medan, Sjahrir, si “Bung Kecil” pun melangkah ke Bandung. (*)


Penulis: Nirwansyah Putra
Rujukan:

  1. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Rudolf Mrazek, Yayasan Obor: 1996.
  2. Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Rosihan Anwar, Penerbit Buku Kompas: 2010.

Leave a Reply