YANGON | Persatuan Mahasiswa Arakan di Myanmar menyatakan, 9 orang anggotanya akan dituntut polisi karena mengorganisir demo penutupan akses internet yang sudah terjadi selama kurang lebih 8 bulan di negara bagian Rakhine dan Chin, Myanmar. Enam mahasiswa bahkan sudah ditahan polisi Myanmar.
Dilaporkan oleh Reuters pada Senin (24/2/2020), para mahasiswa itu dituduh mengorganisir demo mahasiswa yang digelar di Kamaryut, Yangon, Myanmar pada Ahad (23/2/2020) kemarin. Demo itu menuntut diakhirinya penutupan akses internet di negara bagian Rakhine dan Chin, lokasi di mana korban sipil akibat represi pasukan keamanan Myanmar berjatuhan. Seperti diketahui, Rakhine merupakan daerah tempat mukim minoritas muslim Rohingya.
Seorang mahasiswa, Kyaw Linn, yang ikut dalam aksi itu mengatakan, rekan-rekannya dituntut pasal 19 Undang-undang Majelis Damai Myanmar dengan ancaman hukuman 6 bulan penjara.
“Kami adalah mahasiswa dan warga negara yang menunjukkan kesalahan pemerintah. Mereka melanggar hak-hak warga kami,” Kyaw Linn, seperti dikutip dari Reuters.
BACA JUGA:
- Abubacarr Marie Tambadou, Menteri Kehakiman Gambia Pembela Muslim Rohingya
- Ini Putusan Awal Mahkamah Internasional tentang Kasus Genosida Muslim Rohingya
- Derita Muslim Rohingya, Pasukan Myanmar Terindikasi Lakukan Kejahatan Perang
- Mahkamah Internasional: Myanmar Harus Mencegah Genosida Muslim Rohingnya
Myanmar selama ini telah menutup akses internet di sembilan kota di Chin dan Rakhine, sejak Juni 2019 lalu, dengan alasan keamanan. Protes menentang penutupan juga diadakan di dua kota di negara bagian Rakhine pada Sabtu (22/1/2020) kemarin.
Rakhine merupakan tempat minoritas muslim Rohingya. Menurut data Amnesti Internasional, krisis Rohingya ini telah mengakibatkan lebih 750 ribu orang mengungsi utamanya ke negara tetangga mereka, Bangladesh.
Sedangkan, LSM Ontario Internasional Development Agency (OIDA) dari Kanada, melaporkan bahwa sejak 25 Agustus 2017, sebanyak 24 ribu muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar, lebih dari 34 ribu dilempar ke api dan lebih dari 114 ribu orang dipukuli. Laporan OIDA ditulis dalam laporan mereka yang berjudul “Force Migration of Rohingya: The Untold Experience” yang dipublikasikan pada 2018 lalu.
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda, pada Kamis (23/1/2020), lalu telah memutuskan untuk memerintahkan Pemerintah Myanmar untuk mencegah segala tindakan yang terkait dengan praktek Genosida atau pemusnahan massal terhadap muslim Rohingnya. (*)