Nirwansyah Putra
~ indhie
SYAHDAN, seorang arif berujar lembut. Katanya, persoalan manusia adalah masalah yang paling penting dari seluruh masalah yang ada. Problematika yang timbul dalam sejarah semuanya ditimbulkan oleh manusia. Persoalan dunia adalah persoalan manusia, memahami manusia, sikap manusia, dan reaksi manusia terhadap alam.
Pemahaman dan penghargaan terhadap manusia juga menjadi isu sentral di Eropa, kawasan yang sering disebut Barat. Salah satu pemikiran yang memperjuangkan manusia dan kemanusiaan adalah humanisme.
Kata beliau, humanisme memajukan kultus pada manusia. Argumen mereka, karena agama-agama di masa lalu merendahkan kepribadian manusia, meremehkan posisinya di atas dunia, dan memaksa agar mengorbankan dirinya di hadapan para dewa atau tuhan. Mereka meneruskan, agama-agama lama memaksa manusia untuk memandang kemauannya sendiri sebagai sepenuhnya tanpa daya jika dihadapkan dengan kemauan dewa dan tuhan. Tidak sekedar fatalis, namun di sisinya yang lain, juga mendegradasikan manusia atas esensinya dan atas statusnya di alam semesta ini. Tak ayal, humanisme pun menjadi primadona di masa renaissance, fundamen modern Barat hingga kini.
Tapi, beliau yang arif itu membentang kritik terhadap itu semua.
Dia berkata, dalam proses penciptaan manusia, ketika Tuhan memilih manusia sebagai wakilnya di muka bumi, maka itu adalah sebuah anugerah dan kehormatan yang luar biasa. Dia diciptakan dari dua bahan dasar: tanah dan ruh. Seluruh manusia memandang ruh atau jiwa, merupakan wilayah yang paling suci dari manusia, spirit yang maha sempurna, yang paling suci di antara semua spirit dan di antara seluruh entitas yang ada di dalam semesta. Level kesucian yang tidak dianugerahkan ke makhluk lain. Sementara bumi (tanah) merupakan kehidupan dunia yang penuh dengan intrik, manipulasi, dan ketidakadilan.
Nabi merupakan pengejawantahan dari kedua dimensi ini dalam tubuh manusia. Sebagai nabi, ia bertugas ia memerangi ketidakadilan sosial, membawa pada kesejahteraan dan keadilan,. Dan berbarengan dengan itu, ia juga menyampaikan amanat dan perintah-perintah Tuhan di muka bumi.
Argumen ini memang kontras dengan humanisme yang dibawa Eropa (dan Barat). Barat telah menjatuhkan martabat manusia pada titik nadir. Mereka tenggelamkan manusia ke sesuatu yang diciptakan oleh alam (naturalisme dan materialisme), lingkungan (behavioralisme), pikiran (rasionalisme), sampai pada manusia itu sendiri (egosentrisme dan eksistensialisme).
Saat renaissance mengalami zaman keemasannya, kaum intelektual banyak yang tertipu ketika agama –setelah kehilangan esensi sesungguhnya– diubah menjadi suatu bentuk spritualitas palsu, diubah menjadi semacam humanisme yang mesti disesuaikan dengan ilmu positif dan rasionalisme dengan elemen-elemen yang diturunkan dari logika dialektik dan insting manusia.
Aku melanjutkan, maka terjadi kebingungan di atas dunia, seperti unta yang berputar-putar di gurun pasir. Mereka menyangka telah mengelilingi dunia, namun justru tidak pernah kemana-mana. Mereka mengagumi bikinan mereka seperti industri dan memberinya kode revolusi 1, 2, 3, 4 atau mungkin nanti sampai 9.0, lalu terhisap di dalamnya dan merelakan dirinya menjadi bagian dari “sumber daya” manusia. Mereka menjadi tak beda dengan baterai. (*)
2 thoughts on “Manusia”