SEORANG lelaki berjalan dari timur, seorang perempuan melangkah dari barat.
Membawa serta dalam diri mereka, suatu kebudayaan yang berbeda: tutur kata, dialek, gestur, dan bagaimana/mengapa menggunakan bahasa; juga tentang tradisi, harapan, keinginan, kebutuhan, kehendak, hingga cita-cita yang tak sama. Busana hingga makanan yg berlainan menunjukkan selera mereka yg berbeda. Rasa suka yang berlainan. Termasuk definisi cinta yang berbeda, plus maknanya.
Syahdan, mereka bertemu dalam ruang dan waktu tertentu, di tengah-tengah hujan gerimis. Saling melihat, bertatapan, bercerita, berusaha memahami, dan kemudian saling membutuhkan dan melengkapi. Pertemuan dalam gerimis itu rupanya begitu hangat sehingga harus diteruskan dalam suatu perjumpaan untuk meneruskan suatu perjalanan lagi: percintaan.
Ah, mereka mulai merasa bahwa diri merekalah yang membuat cinta itu terbit. Keinginan bersama, serta gairah yang membuncah. Si lelaki menyayangi perempuan itu, demikian juga sebaliknya. Mereka pun mengagungkan cinta dan mendudukkannya di tahta terbaik di rumah mereka. Tertawa di atas motor yg membawa mereka di tengah lebatnya hujan, lalu bercumbu penuh gairah di hamparan semesta, di bawah purnama.
Hingga suatu saat, cemburu pun terbit. Seperti sinar matahari yang menguapkan embun-embun. Begitu terang, menyilaukan, dan membutakan mata. Mereka tak mampu melihat si Pencemburu itu. Jiwa raga mereka lemas, menguap seperti embun tadi.
Bukankah Dialah yang telah mencipta cinta dengan tangannya dan menitipkannya dalam butiran-butiran hujan sewaktu gerimis? Dia pula yang telah mengadakan si lelaki dan si perempuan itu dari seorang lelaki dan perempuan yang hidup sebelum mereka. Menumbuhkan, memberi ruang dan waktu, mengisinya dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku, memperjalankan, mempertemukan, dan memperkenalkan si lelaki dan perempuan itu. Dialah yang telah membuat dua lautan bertemu.
Si lelaki dan perempuan itu terbangun, tertunduk malu; telanjang tanpa sehelai benang di tengah-tengah lautan.
Ingatlah, di dalam hangatnya cinta, tersuruk pula cemburu yang menggelora. Maka, bisakah kau bayangkan dahsyatnya kecemburuan Sang Maha Pencipta Cinta? (*)
Nirwansyah Putra
[indhie] – makassar