JUDUL di atas diinspirasi kalimat Mohammad Roem, mantan Perdana Menteri Indonesia: leiden is lijden; terjemah bebasnya: memimpin berarti menderita. Roem sedang mengutip sebuah peribahasa Belanda kuno ketika menulis Agus Salim di majalah Prisma. Dipakainya peribahasa itu untuk menggambarkan sosok H Agus Salim dan hidupnya.
H Agus Salim adalah orang Minang. Dia tercatat lahir 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat, dengan nama Masjhoedoelhaq Salim. Masjhoedoelhaq berarti pembela kebenaran. Pada 1912, dia menikah dengan Zaenatun Nahar, sepupunya.
Posturnya kecil tapi tidak dengan daya intelektualnya. Agus Salim adalah seorang poligot, seorang yang mampu menguasai banyak bahasa. Setidaknya ada 9 bahasa. Selain bahasa Melayu dan Minangkabau, dia juga fasih berbicara bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, Jerman, Latin dan Turki. Tapi, Agus Salim diketahui juga pernah hidup di Arab Saudi dan untuk itu, dia kemungkinan besar juga fasih berbahasa Arab. Kelak, dia juga mengajarkan anak-anaknya –Agus Salim memiliki 8 anak– dengan pengantar beragam bahasa.
Dia seorang perokok. Tak peduli di manapun. Dia diketahui kadang-kadang mengisap cerutunya ketika sempat mengajar di Cornell University, Amerika Serikat.
Pada Juni 1953, Agus Salim sedang berada dalam sebuah jamuan makan malam pasca penobatan Ratu Elizabeth II di London, Inggris. Dia adalah Duta Besar Indonesia yang pertama untuk Inggris. Rambutnya putih dan dia mengenakan topi warna hitam. Agus Salim sebelumnya sudah diperingatkan untuk tidak merokok. Rokoknya adalah kretek. Aroma kretek yang menyengat jelas sangat terasa di jamuan itu. Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth II tidak nyaman. Tapi Agus Salim malah mengisap rokok kreteknya di depan Pangeran Phillip.
“Apa yang engkau isap?”
“Ini, Yang Mulia, adalah alasan Barat menjajah dunia!”
Itu adalah kisah yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia, untuk New York Times pada April 1999.
Agus Salim tak hanya cerdas, tapi juga cerdik. Memang, bukan hanya seorang yang seperti itu. Tapi hidup menderita? Dengan kemampuan, sejarah, jaringan dan ketokohannya, pilihan hidup Agus Salim jelas membutuhkan keyakinan sekaligus keberanian. (*)