MEDAN | Beberapa partai mengalami penurunan jumlah kursi DPRD Sumut periode 2019-2024 pasca Pileg 2019. Di antara yang disorot menjadi pasal adalah ketiadaan calon presiden (capres) dari parpol bersangkutan. Mereka beranggapan, parpol yang mempunyai capres, seperti PDIP dan Gerindra, diuntungkan dengan Pilpres dan Pileg 2019 yang digelar dalam waktu bersamaan sehingga perolehan kursi mereka pun meningkat.
Namun, soal ini ditepis Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar. Menurut Shohibul, pernyataan terkait jargon merupakan sebuah omong kosong.
Pasalnya, parpol lain yang tak memiliki capres pun ternyata mengalami kenaikan jumlah kursi. COntohnya, Nasdem, PKS hingga PAN. PKS di 2019, berhasil meraih 11 kursi DPRD Sumut yang sebelumnya di periode 2014-2019 hanya mendudukan kadernya sebanyak 9 kursi. Partai Nasdem yang sebelumnya menduduki 5 kursi, naik memeroleh 12 kursi di pileg 2019.
“Jadi kalau mereka bilang karena enggak ada jargon waktu pilpres kemarin, omong kosong semua itu. Toh, PKS naik juga suaranya,” kata Shohibul di Medan pada Rabu (28/8/2019) malam.
BACA JUGA:
– Kursi DPRD Sumut Merosot, Demokrat Tuding Politik Identitas, Pilpres dan Dana
– Kursi Nasdem di DPRD Sumut Melonjak Lebih 100%, Demokrat-Hanura Anjlok
– Kalahkan Golkar, PDIP Kuasai Kursi DPRD Sumut 2019-2024
– Ini Nama-nama Caleg Terpilih DPRD Sumut 2019-2024
Tak hanya itu, Shohibul juga menyebut, pernyataan bahwa politik identitas menjadi sebab penurunan jumlah kursi, juga absurd. “Enggak ada itu. Bukan itu, itu semakin omong kosong,” kata Shohibul.
Perlu waktu untuk mengkaji, sambung Shohibul, penurunan perolehan kursi itu dipengaruhi oleh faktor non-elektoral, artinya di luar dari pemilu. “Tidak begitu. Ada faktor yang lain. PKS naik, Nasdem juga. Itu harus ditelaah terlebih dahulu. Bedasarkan faktor non-elektoral,” jelasnya.
Dugaannya, partai politik yang sedang berkuasalah yang memiliki peluang terbesar untuk menang. Karena itulah, PDIP berhasil meraih 19 kursi di DPRD tingkat Provinsi Sumut.
Hal tersebut menjadi satu contoh dari ruling party dalam dinamika politik di Indonesia. Dan fenomena politik, antara penurunan suara Demokrat dan naiknya suara Nasdem maupun PKS merupakan sebuah faktor non-elektoral.
“Contoh Asian Games. Siapa tuan rumah, dia juara umum. Kenapa begitu? Ada faktor-faktor yang menguntungkan tuan rumah. Politik Indonesia pun begitu, siapa yang menjadi ruling party pasti menang. Berarti ini bukan faktor elektoral, tapi non-elektoral. Non-elektoral itu artinya bukan soal pemilu,” terang Shohibul.
Shohibul menaksir, faktor penurunan suara yang dialami Demokrat ataupun kenaikan drastis suara Nasdem adalah birokrasi dan politik. Itu menggambarkan kejujuran dalam pemilu 2019 kemarin tidak berjalan.
“Bisa jadi ini soal faktor-faktor birokrasi dan politik yang menggambarkan kejurdilan pemilu kita tidak bekerja dengan benar. Kita enggak sebut curang, tapi non-elektoral,” paparnya.
Meski demikian, Shohibul mengamini soal cost politik yang tinggi menjadi alasan rasional bagi penurunan suara parpol yang kekurangan dana. Menurut Shohibul, mesin politik tidak akan bekerja tanpa suplai yang baik. “Itulah yang (mungkin) benar, itulah yang saya maksud faktor non-elektoral,” tandas Shohibul mengakhiri wawancara. (*)
Laporan: Bolang