Menjadi Alumni – indhie.com

Menjadi Alumni

... bukanlah suatu hal yang berhenti seperti lampu merah lalu lintas.
ILUSTRASI. [foto: net, edit: indhie]

PEREMPUAN sungguh telah diletakkan dalam derajat tertinggi dalam dunia pendidikan. Alma Mater yang berarti “ibu asuh” adalah kata yang disematkan pada institusi pendidikan. Kata itu berkembang, dari mulanya untuk level pendidikan perguruan tinggi ke seluruh jenjang pendidikan: menengah, dasar, hingga taman kanak-kanak. Meski, universitas kelihatan lebih mendominasi.

Mereka yang telah menamatkan pendidikan disebut juga alumni, atau juga alumnus untuk pemakaian tunggal. Salah satu arti dasarnya adalah “anak asuh”. Dalam dekapan si ibu, anak asuh ini diberikan “gizi” sehingga kemudian nantinya akan disapih dari si ibu. Seperti juga dalam doktrin hukum alam, sosok ibu akan menyusui dan melindungi anak-anaknya hingga kemudian si anak dirasa cukup mampu untuk dilepas ke alam bebas. Karena itu, gizi yang dimaksud tidak hanya berarti fisik, sekadar nutrisi, melainkan juga pengetahuan, insting hingga tradisi. Dia menyediakan lingkungan untuk mendidik anak-anaknya. Dengan demikian, ada budaya yang diciptakan di sana.

Mendidik si anak asuh, berarti juga melindunginya. Melindungi tidak hanya dalam masa pendidikan, melainkan juga memberinya kekuatan dan pengetahuan agar si anak asuh ini dapat melindungi dirinya sendiri kelak. Adalah suatu nilai plus, ketika nanti si anak akan juga melindungi si “ibu asuh ini ketika, sesuai dengan hukum alam, si ibu melemah dan butuh perlindungan.

Namun, itu hanya nilai plus saja. Si ibu pada dasarnya hanya memberi, tak harap menerima kembali apa yang sudah diberikannya. Lirik lagu Kasih Ibu yang diciptakan SM Mochtar atau Mochtar Embut, begitu lembut, membuat merinding, dan “harus” dibenarkan. “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga, sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia,” demikian bait lagu itu.

Hanya bait itu liriknya, tetapi begitu menyentuh. Ah, siapa pula yang tak akan kehabisan kata-kata ketika mengingat kasih sayang ibunya? Bait itu diulang-ulangi, sampai yang mendengarkan seperti sedang dibuai, dibelai, disentuh tubuhnya ketika di peraduan, sehingga menjadi tenang, nyaman, dan tertidur pulas.



Karena itu, pendidikan bukanlah seperti juga sering disebut-sebut orang: sebuah “investasi”. Si ibu tidak pernah melakukan “perdagangan” dengan si anak. Bila pendidikan adalah suatu hal yang disandingkan dengan ibu (atau juga orang tua), maka kata “investasi” adalah tuduhan yang menyakitkan. Mendidik tidaklah sama dengan menanamkan modal dan kemudian mengeruk keuntungan dari modal tersebut. Bahkan, berharap saja bakal ada keuntungan yang balik atau berlipat-lipat, sudah begitu keterlaluan.

Alam menjadi “ibu” ketika si anak manusia belajar di dalamnya. Alam adalah ruang kelas sekaligus guru, sekaligus juga yang memfasilitasi segala kebutuhannya. Maka, ketika alam menjadi rusak oleh tangan-tangan manusia, maka sang pencipta dan pemilik alam langsung mengungkapkan kemarahannya. Itu berarti durhaka kepada ibu. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” demikian surah ar-Rum di ayat ke-41. “Tabiat” merusak pada dasarnya sudah diprediksi ketika manusia itu akan diciptakan. Karena itu pula, si manusia pun diputar kembali lagi ke titik awal supaya jangan lagi membuat kerusakan. Mengulang kaji kembali.

Pendidikan karena itu adalah suatu hukum yang telah berlangsung terus-menerus, sejak lama, sejak alam ini diciptakan. Tak pernah berhenti. Karena itu, kata “alumni” bukanlah kata yang menandakan “tamat dunia pendidikan”; suatu hal yang berhenti seperti lampu merah lalu lintas. Mengkhatamkan satu level, maka akan masuk ke level berikutnya. Demikian seterusnya. Dia “selalu”, bersambung-sambung. Maka, di depan kata alumni, terletak pula kata “menjadi”.

Begitulah. Selamat menjadi alumni. (*)


Nirwansyah Putra 
~ bait | indhie