KAZHIM Sahir adalah seorang penyanyi, komposer dan penyair ternama dari Irak. Dia dijuluki Caesar of Arabic Song. Dalam acara menyanyi untuk anak-anak di televisi pada 2015 lalu, dia satu panggung dengan dua anak perempuan: Mirna Hanna dari Irak dan Lina Hayk dari Lebanon. Kazhim yang memulai lagu itu: “Tadzakkar!”
Lagu itu dicipta Kazhim pada 1998, bercerita tentang perang, kematian dan kehidupan yang sulit di dalamnya. Juga tentang doa yang sungguh berharap. Bukan hanya di tanah kelahirannya, Irak ataupun Kuwait, Iran, Syria, Afghanistan, Lebanon, Palestina dan kawasan Timur Tengah lainnya yang terus membara hingga kini. Lagu itu menyebar di seluruh dunia seperti angin segar di kala awan mendung menutupi dunia yang penuh peperangan. Kazhim mendapat penghargaan dari UNICEF atas lagu itu.
Lirik, nada dan rima yang seluruhnya dibalut oleh musik yang epik, membawa kita pada kepedihan dan kesedihan yang sangat-sangat mendalam. Anak-anak kehilangan ayahnya dan istri-istri menjanda karena suaminya pergi ataupun dipaksa keluar rumah untuk berperang. Perang yang entah untuk apa.
Juga tentang kehancuran rumah dan puing-puing sekolah yang disebut juga sebagai pintu masa depan sekaligus cermin memelajari masa lalu. Tentang rumah ibadah yang luluh-lantak. Bila kita sepakat bahwa rumah ibadah menjadi tempat berpeluk dengan Maha Pencipta, maka perang itu telah membombardir tempat bercinta dengan sang Khalik. Hilang ditelan asap hitam dan debu bangunan.
Situasi itu berulang terus selama puluhan tahun. Anak-anak menjadi korban terbesar ambisi kekuasaan dan nilai-nilai yang berbeda.
Maaf, bukan “nilai”. Sekali lagi bukan. Ini bukan soal nilai karena dalam kata “nilai” itu terkandung moralitas, tentang kebaikan yang mengemuka. Amerika Serikat dan Eropa mengirim tentara dan bom ke Timur Tengah karena ingin menciptakan perdamaian dan membasmi orang-orang jahat, teroris. Yang terkena peluru tentara dan bom-bom berharga mahal itu, melawan balik dan berteriak: Amerika dan Eropa telah menjajah kami puluhan dan bahkan seratusan tahun hingga tanah, rumah dan masjid kami hancur! Apakah mereka salah kalau melawan balik? Perang adalah niscaya.
Mungkinkah kebaikan akan berperang dengan kebaikan? Dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa, WS Rendra menerjang soal kebaikan yang –konon– berkelahi dengan kebaikan. “Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga,” tulis dia di baris kesembilan sajak itu.
Karena itu, dari dua petak yang berbeda, selalu ada kebaikan yang tersembunyi, yang menjadi dasar dari segala kebaikan. Kebaikan yang murni, jujur dan yang paling penting: adil. Dan yang di sebelahnya itu, hanyalah pseudo, kepura-puraan, menyaru kebaikan di wajahnya, tetapi menyuburkan kejahatan di dalam hatinya. Kebaikan yang sebenarnya mustahil bertentangan.
Ini adalah soal hasrat dan nafsu destruktif yang memicu anak-anak manusia untuk menarik pelatuk. Kesumat antara keduanya telah menebalkan abu peperangan yang membuat hati menjadi buta. Penjajah makin tenggelam dalam syahwatnya, sementara yang semula berstatus korban kemudian bermetamorfosa menjadi tersangka baru kejahatan.
Benarlah Muhammad. Nabi yang rendah hati dan selalu bersabar itu, mengajarkan, qishash ataupun prosesi seperti penyembelihan hewan kurban, tidaklah boleh dilakukan lama-lama, prosesnya harus dicepatkan dan mengambil sisi yang paling vital. Eksekusi sekalipun tak boleh menyakitkan, haram untuk menyiksa. Ketika proses itu mengambil waktu yang lebih lama, akan ada ruang bagi syahwat untuk bergelora menikmati. Kebaikan akan tenggelam, menjadi kabur.
“Tadzakkar!” ucap Kazhim. “Ingatlah!” dalam bahasa kita di sini. (*)
Nirwansyah Putra
Ditulis Juni 2016.