Simbol Anak Durhaka – indhie.com

Simbol Anak Durhaka

... karena durhaka ternyata tak ada obatnya.
Ilustrasi. [foto: net]

DI antara kisah anak durhaka yang paling populer adalah Malin Kundang. Dia bertemali pada sesuatu yang begitu buruk: pengkhianatan, kecemburuan, keangkuhan, dan pengingkaran terhadap bukan hanya sosok yang mengandung, menyusui, mendidik, memberi makan, dan membesarkannya, melainkan juga nilai-nilai dasar yang menyertainya. ‘Jangan lupa daratan’, ‘lupa kacang pada kulitnya’, adalah sebagian wanti-wanti dan nasihat-nasihat para orang tua kepada anak-anaknya. Dia mengingkari masa lalu, membunuhnya, meniadakannya, dan sebaliknya mendewakan waktu kini dan esok.

Ditarik ke belakang, kisah-kisah anak durhaka telah berserak. Qabil tidak terterima qurbannya, mendengki saudara kandungnya, membunuh putra Adam manusia pertama. Anak Nuh tenggelam karena keangkuhannya, sedangkan Yusuf anak Ya’qub dicemplungkan ke sumur oleh saudara-saudaranya yang penuh cemburu. Dan seterusnya, banyak lagi.

Ayahanda, ibunda, orang tua, dapat menjelma pada sosok organisasi yang membesarkan seseorang. Lihatlah institusi pendidikan, misalnya kampus, yang lama dijuluk sebagai “Alma Mater” yang pengertian harfiahnya berarti ‘ibu asuh’. Mendurhakai kampus, berarti pula mendurhakai ibu asuh yang telah mengajarkan ilmu, nilai, serta budaya yang ada di dalamnya. Bayangkan kualitas durhakanya seandainya si pejabat kampus yang sudah lama bergelimang kemewahan dan fasilitas dari kampus itu, lalu menjerumuskan kampus itu sehingga menjadi bahan cemoohan banyak orang.



Negara, di sisi lain, adalah suatu organisasi yang begitu besar. Ada juga bangsa di sana. Juga terhampar teritori, wilayah – istilah-istilah yang kebanyakan hanya lebih bermakna “legal formal”—, dan isinya bukan sekadar tanah, air, dan udara. Lebih dari itu, wilayah alam itu merupakan arena hidup dan kehidupan. Sungai yang direnangi, pohon yang dipanjat, dan seterusnya, membekas dalam sanubari dan fisik setiap orang yang berada di sana. Laiknya sebuah rahim kehidupan, maka tak kelirulah sebutan “ibu pertiwi”. Karena itu pula, pengkhianatan terhadap ibu pertiwi adalah durhaka berkali-kali lipat. Ketika seseorang telah dipilih, diangkat, dilantik menjadi anggota “wakil rakyat”, bermandikan kekayaan dan ‘kehormatan’, serta ditimang-timang menjadi ‘pejuang rakyat’, maka saat dia mencuri uang, mengkorupsi uang si rakyat tadi, inilah perilaku durhaka yang kejam dan berangasan. Mengkhianati ibu pertiwi, mengkhianati rakyat yang sejatinya adalah “orang tua”-nya.

Bisakah Anda bayangkan, durhaka macam apa lagi yang akan diakibatkan oleh kolaborasi pendurhaka rakyat dan pendurhaka kampus?

Tradisi mengajarkan, sekali seseorang berkhianat maka dia akan kembali berkhianat. Pengkhianatan adalah penyakit kambuhan. Maka, saat ibu Malin Kundang telah kering air matanya, hilang kesabarannya, meledaklah amarahnya; karena durhaka ternyata tak ada obatnya. Dia adalah sebuah kutukan. Tak heran kemudian kalau sang ibu mengutuk anaknya menjadi batu: mengesahkan kutukan menjadi sebuah simbol. (*)


Nirwansyah Putra
[indhie]