Perempuan, Kekuasaan – indhie.com

Perempuan, Kekuasaan

... heranlah para pria mengapa kehidupan kemudian berwajah bengis, kasar dan begitu keras. Mereka heran lalu tertawa karena ternyata yang mereka herankan adalah wajah mereka sendiri.
ilustrasi-Cleopatra [sumber foto: courtesy twentieth century fox]


Nirwansyah Putra
~ indhie


DIAM-DIAM Cleopatra memuja Marc Anthony. Ratu Mesir itu sungguh memesona. Dia menelusuk ke dalam gairah, menggelitik syahwat Anthony sehingga sejenak dia melupakan dahsyatnya imperium Romawi. Ini bukan candu negeri China, ini eksotisme Afrika yang tak dia temui di Eropa.

Anthony pun, dengan zirah besi kebanggaan setiap pria Romawi, melangkah tegap ke hadapannya. Mengusung harkat dirinya sebagai seorang perwira Romawi; dia ingin masuk dalam permainan itu, membusung.

Sebaliknya, Cleopatra mengirim utusannya: sebuah senyuman. Dia tak ingin membakar sorot tajam dan langkah tegap Anthony. Agaknya dia mafhum, membalas pria ini dengan hasrat yang juga menggebu adalah perangkap yang sedang dititi dengan hati-hati oleh Anthony. Cleopatra menolak itu. Dia hanya tersenyum.

Namun bukankah sesungging senyum dapat meruntuhkan piramida? Cleopatra adalah perempuan yang bertahta di titik teratas angkuhnya singgasana dewa-dewa. Pria-pria bukan hanya sedang mendatangi dirinya, tapi ingin memanjat, merengkuh dan mencium telapak kakinya yang harum.



Kekuasaan Cleopatra bukanlah seperti kerasnya derap kaki para tentara. Dia menghujam rasa terdalam, nan gelap, dari setiap pria; nafsu bergemuruh memiliki. Dia begitu gemulai seperti pohon bambu menari-nari di pusaran angin yang kencang. Dia tak ingin memiliki kekuasaan versi pria.

Pria-pria bodoh pun terjerat seperti tikus yang terbenam setengah kakinya dalam getah yang bening. Dia tak acuh, bahkan sama sekali tak memerhitungkan gemerlap tahta yang dikejar pria-pria itu. Cleopatra bergeming, tak beranjak menuju Marc Anthony seperti para hipokrit yang berkerumun di sekeliling kursi sang raja.

* * *

Kekuasaan pria-pria bodoh berkelindan bagaimana merengkuh, merebut dan bertarung keras untuk menduduki tahta. Dia mengukur seberapa kental darah para lawannya, seberapa musuh telah ditebas, dan seberapa luas tanah yang bertulis namanya. Dan setelah menyilangkan kaki sejajar dengan tahta, mereka mengangkat telunjuknya: perintah. Saksikanlah, pria suka sekali untuk memamerkan kekuasaannya. Bahkan, kadangkala itulah kekuasaan baginya; kekuasaan yang didirikan atas dasar keterpanaan yang sejatinya hidup dari rasa takut para hambanya.

Keangkuhan ada di sebalik dada kekuasaan pria. Pria suka sekali dengan sebutan Raja, Kaisar, Sultan hingga Presiden. Dengarlah pelan-pelan kata tersebut dan rasakan betapa maskulinnya kata-kata tersebut, betapa “perkasanya”. Curigalah kita kalau kata itu bukan dicipta oleh dan untuk perempuan, melainkan oleh pria dan kekuasaannya. Selalu saja, epik kekuasaan pria diceritakan dibalut dengan keperkasaan pertarungan. Hasil dari pertarungan adalah kekuasaan dan karena pertarungan adalah wajah pria maka kekuasaan juga adalah wajah para pria. Karena itu pula, akibat-akibat kekuasaan itu juga adalah wajah-wajah para pria. Akibat-akibat kekuasaan adalah proses kehidupan dalam dunia. Tak ayal, kehidupan pun selalu diidentikkan dengan wajah para pria.

Elizabeth Taylor saat memerankan Cleopatra. [foto: courtesy twentieth century fox]
Lantas, heranlah para pria mengapa kehidupan kemudian berwajah bengis, kasar dan begitu keras. Mereka heran lalu tertawa karena ternyata yang mereka herankan adalah wajah mereka sendiri. Sesudah itu mereka pun menangis karena wajah mereka ternyata begitu menyeramkan, membuat kehidupan penuh dengan peperangan, kebohongan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, eksploitasi hingga kemunafikan dan pengkhianatan.

* * *

Lalu, Cleopatra dan Marc Anthony terlibat dalam pertarungan yang panas itu. Berpilin, berpagut. Lantas lelah menghampiri dan mereka harus terpana pada sosok satu lagi yang misterius. Mereka tak mengerti karena sosok tadi ada hanya ketika mereka sedang bercinta. Padahal, sosok tadi adalah selimut pergumulan mereka.

Sayang, mereka baru mafhum ketika percintaan itu telah usai. Dia tak bisa lagi ditanyai. Dia telah pergi. (*)


catatan: tulisan ini dibuat pertama pada September 2011, digubah ulang Agustus 2020.


2 thoughts on “Perempuan, Kekuasaan

  1. Pingback: Maya… – indhie

Leave a Reply