Sabar – indhie.com

Sabar

... seakan-akan tak punya bobot, seakan-akan bak kerupuk.
Mesin tik lama. [foto: indhie]
Ilustrasi | Mesin tik lama. [foto: indhie]

PALESTINA adalah hati yang terluka. Sakitnya dirasakan hingga ke Indonesia, ke Sumatera Utara, ke suatu kota, ke suatu kecamatan, ke satu kelurahan, ke satu rumah, ke satu kotak kaca televisi, ke seorang sosok, ke kedua matanya, ke pikiran, dan ke lubuk hatinya. Menusuk, menggores, menghancurkan, mengalirkan tangis, memacu jantung dan nafas, mengepalkan geram, memuncak ke kemarahan, ke kemurkaan yang tak bisa dilampiaskan. Begitu sakitnya!

Bagaimana mungkin memahami energi miliaran kubik air bah yang terus dibendung dinding kokoh dan tebal, ditahan-tahan dan dilarang-larang dikeluarkan sekuat tenaga; sementara di seberang, si penyebab kemarahan dan kemurkaan itu terus mengeluarkan seringai ejekan tanpa henti. Begitu sakitnya!

Sakit itu tak mungkin diobati. Mereka yang tak mengerti mengapa sakit, merinding, marah, sedih, air mata, dan kemarahan itu muncul dan membesar, mungkin akan menanggapi dengan ringan, remeh, dan tentu saja, leceh. Atau, akan ada yang begitu gampangnya mengatakan, “sabarlah”; seakan-akan kata itu tak mempunyai bobot sama sekali. Dia bukan ringan seperti kerupuk. Bahkan kerupuk pun memiliki bobot!

Sabar adalah dinding hidup yang memagari segala rasa yang ada di diri manusia. Dia yang dicipta dan diperintahkan Tuhan untuk dilaksanakan manusia-manusia ciptaannya, adalah kekuatan mahadahsyat yang mampu menjaga dan mengendalikan seluruh rasa manusia; baik yang positif yang mengarah ke kebaikan seperti cinta, kasih sayang, dan lain-lain, ataupun rasa yang negatif yang mengarah ke kerusakan seperti amarah.

Dia bukan seperti batu, barang diam dan tak berubah-ubah. Sesekali sabar, detik berikutnya tidak, lalu menit berikutnya bisa sabar, dan demikian seterusnya. Dia sesuatu yang hidup, yang mesti diperjuangkan terus-menerus. Dia bukan “barang” ecek-ecek, bukan pula untuk dimain-mainkan di ucapan. Dia adalah sesuatu yang berat, dan bukan ringan seperti tulisan ini.

Demikianlah. Dia bukanlah produksi manusia. Itu bila Anda percaya dengan Tuhan.



Puasa adalah salah satu instrumen utama untuk mendapatkan energi sabar. Saya mungkin belum paham seberapa dalam dan luasnya makna atau bagaimana cara ber-sabar. Namun, dari kekuatannya yang mampu mengendalikan perasaan manusia apapun jenisnya, agaknya bisalah diraba-raba mengapa nabi begitu menyayangkan mengapa manusia hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga ketika manusia berpuasa. Padahal, sabar itu masih hanya satu saja hikmah puasa.

* * *

Mereka yang seumur hidup menjajah taklah sama perasaannya dengan mereka yang seumur dijajah. Indonesia lama benar dijajah, dan itulah mengapa dia meletakkan kata “kemerdekaan” di alinea pertama yang membuka konstitusinya. Begitu sakitnya dijajah itu!

Hubungan itu kian mengental ketika yang mereka yang dijajah itu sama pula hatinya: mereka yang meyakini, mengucapkan syahadat, mengakui, menyatakan, menegaskan keilahian Allah dan kerasulan Muhammad. Hati –tempat segala rasa bermukim itu— mereka sama, tak buang.

Maka, hati yang sama tak perlu lagi jaringan kabel, gelombang dan sinyal-sinyal yang bersifat material, untuk saling berhubungan. Seorang ibu tiba-tiba harus menangis ketika anaknya akan diopname di rumah sakit. Seorang istri sekonyong-konyong sumringah ketika di suatu malam yang begitu dingin suaminya mengetuk pintu dan membawakannya bubur ayam panas. Seorang kakek harus menahan-nahan dengan kuat sesak nafasnya ketika cucunya mengajaknya berlari-lari.

Itulah hubungan yang tanpa kepentingan, tanpa untung rugi seperti dagang. Hubungan yang tidak pernah melongok-longok ruang sejarah dan mencari jawab sebab-sebab material mengapa mereka mesti berhubungan. Itulah relasi keikhlasan: menyatu, tidak ada sekutu baginya dan di dalamnya. (*)


Nirwansyah Putra 
[indhie] – ashar ’24