Bayt al-Hikmah. Rumah Kebijaksanaan bila frasa itu diartikan sederhana. Inilah pusat intelektual utama di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah selama zaman keemasan Islam kurun abad ke-8 hingga abad ke-13. Di sini berkumpul cendekiawan dari penjuru bidang ilmu maupun yang berkategori polymath, seorang pakar di berbagai bidang. Sebuah jembatan yang kemudian diambil-alih oleh Eropa yang waktu itu masih terkungkung dark ages, abad kegelapan yang diselimuti mitos-mitos tahyul. Menariknya, kegairahan intelektual yang memuncak ini, bukan hanya karena faktor kaum intelektual semata melainkan juga karena dukungan penuh dari kekuasaan Islam waktu itu. Ini adalah dimensi lain dari wajah Timur Tengah yang saat ini dicitrakan begitu “gosong” oleh media barat karena peperangan.
* * *
Sepanjang abad ke-4 hingga ke-7, selagi periode keilmuwan Helenistik, karya ilmiah yang dikerjakan dalam bahasa Yunani dan Suryani (sering juga disebut Syriac Aramaic, bahasa yang lazim dipakai di semenanjung Timur Arab yang disebut berakar dari rumput bahasa Semit) baru dimulai.
Dinasti Umayyah yang berkuasa kurun tahun 661-750 sudah mulai merintis jalan untuk ilmu pengetahuan Islam. Misalnya, Gubernur Mesir, Khalid ibn Yazid (diketahui wafat tahun 704), diketahui sangat tertarik dengan kimia dan ilmu-ilmu alam. Sekelompok penulis sejarah Islam dari University of Malaya, Malaysia, dalam artikelnya berjudul The Significance of the Bayt Al-Hikma (House of Wisdom) in Early Abbasid Caliphate (132 A.H-218 A.H), menuliskan, ketertarikan Khalid waktu itu kemungkinan besar karena hidupnya dihabiskan di Mesir di mana di sana ada perpustakaan terkenal di dunia, Perpustakaan Alexandria. Khalid kemudian memerintahkan cendekiawan Alexandrian untuk menerjemahkan buku-buku kimia dan perobatan dari Yunani atau Koptik, ke bahasa Arab. Penulis Malaysia ini kemudian mengutip sejarawan M.I al-Nadim dari bukunya ‘Iqd al-Farid (1997), yang mengatakan, buku-buku itu diperkirakan merupakan hasil kegiatan penerjemahan yang pertama kali di dunia Islam. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang ketertarikannya pada dunia sains melebihi khalifah lainnya di Dinasti Ummayah, pun memerintahkan penerjemahan buku-buku perobatan ke bahasa Arab. Tapi, semua aktivitas ini belum komplet.
Dinasti Umayyah mulai mengumpulkan koleksi-koleksi ini di Damaskus, ibukota negara waktu itu, di perpustakaan negara yang disebut “Bayt al-Hikmah“. Buku yang ditulis dalam bahasa Yunani, Latin, dan Persia di bidang kedokteran, kimia, fisika, matematika, astrologi dan disiplin ilmu lainnya juga dikumpulkan dan diterjemahkan oleh para sarjana muslim pada saat itu. Pusat-pusat intelektual kuno yang berada di bawah kekuasaan mereka, dikumpulkan dan diperkerjakan. Untuk diketahui, pengembangan wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah sangat besar hingga disebut sebagai empirium terbesar ke-5. Wilayahnya meliputi Kaukasia (sebagian Rusia), Asia Tengah, Asia Barat, Afrika bagian Utara, hingga ke semenanjung Iberian yang ini diduduki tiga negara Eropa (Spanyol, Portugal dan Andora).
* * *
Pada 750, Dinasti Abbasiyah menggantikan Bani Umayyah sebagai dinasti yang berkuasa di Empirium Islam. Pada tahun 762, Khalifah Abu Ja’far Abdallah ibn Muhammad al-Mansur atau al-Mansur (754-775) membangun ibukota baru di Baghdad dan meninggalkan Damaskus. Waktu itu, Baghdad sudah mulai menjelma sebagai lokasi dan populasi kosmopolitan yang menjadikannya sebagai tempat yang sempurna untuk pusat ekonomi dan intelektual yang lebih stabil. Dinasti Abbasiyah juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan Persia dan mengadopsi banyak praktek Kekaisaran Sassanid, kekaisaran Persia kuno sebelum masa Islam. Ibu Khalifah Al-Ma’mun, penerus al-Mansur sendiri, diinformasikan sebagai seorang Persia.
Di antara yang diadopsi adalah soal penerjemahan karya asing. Hanya saja, karya itu diterjemahkan ke bahasa Arab, bahasa resmi Dinasti Abbasiyah. Untuk tujuan ini, al-Mansur kemudian mendirikan perpustakaan istana, yang modelnya juga meniru Perpustakaan Istana Sassanid. Al-Mansur bekerja total dalam hal ini. Dia memberikan dukungan finansial dan politik untuk kaum intelektual yang bekerja di sana. Dia juga mengundang cendekiawan dari India dan tempat-tempat lain untuk berbagi pengetahuan mereka tentang matematika dan astronomi.
Sementara itu khalifah ke-2, Abu Abdallah Muhammad ibn Abdallah al-Mansur atau Khalifah al-Mahdi (745-785) dan ke-3 Abu Muhammad Musa ibn Mahdi al-Hadi (785-786), melanjutkan apa yang dilakukan pendahulunya, namun tidak begitu menonjol dalam bidang ini.
Namun, di masa kekhalifahan al-Mahdi, kota Baghdad begitu berkembang dan menjadi kota terbesar di dunia. Kehadirannya minat penduduk Arab, Syria, Persia, Afganishtan hingga Spanyol untuk bermigrasi ke sana. Tidak hanya muslim, namun orang-orang non-muslim yang beragama Kristen, Yahudi, Hindu dan Zoroaster pun menetap di sana. Di masa al-Mahdi pula, pengenalan teknik pembuatan kertas yang lebih tipis dari China membawa efek yang sangat jauh dalam pengembangan intelektual Islam. Sebelumnya, bangsa Arab dan Persia lebih menggunakan papyrus atau daun lontar yang lebih tebal dan orang Eropa masih memakai vellum atau kertas kulit.
Al-Mahdi sendiri diketahui menyenangi puisi dan musik. Sementara pemerintahan selanjutnya, al-Hadi, yang hanya memerintah setahun, tak bisa berbuat banyak. Dia lebih disibukkan dengan konflik internal militer. Hadi juga sempat memindahkan ibukota dari Baghdad ke kota Haditha, di tepi sungai Tigris.
* * *
2 thoughts on “Bayt al-Hikmah, Cahaya Peradaban Dunia”