SOSOK Amien Rais begitu digdaya beberapa tahun sebelum dan sesudah 1998. Status ‘profesor’-nya disebut ditahan oleh rezim orde baru (orba), dia tidak peduli, dan terus bertahan dengan gelar doktor hingga reformasi kemudian membuat Soeharto jatuh. Ada memang kemungkinan lain: dia tak sempat mengurus “prosedur-prosedur keprofesoran” dalam birokrasi dan administrasi akademik-intelektual yang ternyata lebih diagungkan daripada level pengaruh karya akademik yang bersangkutan.
Namun, sosok Amien di 1998 tidak bisa dilihat di 1998 itu saja. Wacana dan gerakan ‘reformasi’ yang diusungnya punya kekuatan besar karena terkait wacana lain yaitu ‘suksesi’ yang juga diusungnya jauh sebelumnya. ‘Suksesi’ dimunculkannya di sebuah perhelatan Persyarikatan Muhammadiyah beberapa tahun sebelum 1998.
Kekuatan wacana ‘suksesi’ dan ‘reformasi’ ini pun ditentukan oleh konteks historis dan sosial politik waktu itu. Bila situasi politik ekonomi sedang baik-baik saja dan tidak menuju proses kebangkrutan, kesenjangan ekonomi tidak kian melebar, kompetisi kekuasaan yang tajam antara kelompok sekuler dan Islam (berikut internal kelompok Islam), peta geopolitik-ekonomi internasional, dan seterusnya; maka wacana ‘suksesi’ dan ‘reformasi’ juga tak punya greget, kurang menarik perhatian. Jika tidak ada kegelisahan terhadap kecenderungan kekuasaan Soeharto yang memusat, otoriter dan tak berganti-ganti, tidak mau berbagi-bagi –seperti yang menjadi hakikat demokrasi— maka isu ‘suksesi’ dan ‘reformasi’ hanya seperti berita kriminal rutin di koran-koran, hanya seperti kerupuk: nyaring suaranya, tetapi tak bergizi.
Antara Amien-suksesi-reformasi terikat suatu kesatuan yang ketiga-tiganya saling terkait. Jika bukan Amien yang melontar dan menggerakkan gerakan itu, maka meski konteks sedemikian kuat, isu itu juga kurang memiliki akar ke masyarakat: tak punya energi, power. Anda mungkin punya ide dan gagasan, tetapi siapalah kita ini dibanding Amien? Sedangkan Amien waktu itu adalah seorang intelektual dan aktivis muslim, anggota dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), lulusan universitas terkenal di Amerika Serikat dan Indonesia, dan yang paling penting dan utama adalah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah: organisasi Islam terbesar, bersejarah, jutaan anggota, terkukuh jaringannya, dan terkaya di Indonesia. Rezim, mau tak mau, harus berhitung dan tentu saja mengeluarkan senjata dan amunisinya.
Karena ketiganya berkelindan cukup kuat: Amien-suksesi-reformasi; maka peralihan kekuasaan di 1998 pun begitu besar. Guncangan di Indonesia, sebagai negara besar di dunia, terutama di Asia Pasifik, dan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia jelas berpengaruh pada stabilitas kawasan. Karena itu pula, gerakan dan peralihan kekuasaan 1998, telah menjadikan Amien sebagai salah seorang tokoh yang berpengaruh di dunia dan di Indonesia. Tak peduli seberapa kuatpun orang-orang ingin mengerdilkannya.
* * *
Para penguasa begitu paham soal konteks. Untuk berkuasa, dia menyelidiki situasi, momentum, suasana lahir dan batin, atau struktur perasaan sosial yang menyelimuti kekuasaan dan prosesnya. Kalau suasana itu memang tak ada, atau minim, maka dia akan menghitung isi kantongnya, membentuk dan memberi energi pada jaringan-jaringannya, dan tentu saja memoles citra dirinya. Para penguasa pandai membentuk dan merekayasa suasana itu. Dia punya pasukan tukang sihir untuk itu semua.
Penguasa despot bukan besar atau pintar seperti Einstein, tetapi mampu merekayasa situasi sehingga masyarakat menganggapnya ‘Besar’ dan ‘seperti Einstein’. Dia membangun mitos, membuat orang-orang berkhayal bahwa dialah superman yang bisa terbang dan tak mempan ditembak. Dia terus merawat rasa takut orang-orang terhadap dirinya. Dan, bila situasi ‘alamiah’ di luar kekuasaanya untuk direkayasa, maka dia cepat memoles dirinya di situasi tersebut.
Karena itu, penguasa juga akan selalu curiga dengan kaum cendekia, yang juga mampu membaca, membentuk dan menggerakkan perlawanan terhadap situasi itu. (*)
Nirwansyah Putra
[indhie]