Nirwansyah Putra
~ indhie
TAK hanya waktu, kekuasaan juga ibarat pedang. Dia bisa menghabisi dan juga mampu menyelamatkan sekaligus memerjuangkan apa-apa yang dikuasainya. Lihatlah, hampir seluruh para pahlawan kita masa dulu, digambarkan dengan pose menggenggam pedang terhunus. Sebagiannya memegang keris.
Pedang digunakan untuk melawan penjajahan atas raga. Pedang dihunus untuk menjatuhkan perbudakan jiwa. Pedang-pedang itu memang bukan digunakan untuk memotong sayur-sayuran ataupun umbi-umbian. Dia alat dengan peruntukan khusus. Tak digunakan sepanjang waktu. Karena orang yang membabi-buta menggunakannya terus-terusan, malah bisa dicap gila. Karena itu pula, sejarah mencatat, raja-raja yang selalu menggunakan senjatanya sepanjang waktu, justru digambarkan sebagai seorang gila, sesosok maniak yang zalim. Ingatlah, pisau guillotine hanya dipakai sewaktu eksekusi hukuman mati. Setelahnya, dia menganggur. Setelahnya dia hanya diasah agar tetap tajam sewaktu akan dipakai nanti.
Karena itu pula, kekuasaan manusia mesti ditempatkan sesuai peruntukannya. Dalam alam theokrasi, kekuasaan manusia ditujukan untuk menegakkan keilahian. Theokrasi harus ditampilkan di sini, karena di masa kini, theokrasi telah diposisikan sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan bahkan oleh orang-orang yang berlatar akademik sekalipun. Seolah-lah theokrasi adalah konsepsi usang, dan malah konsepsi yang sungguh busuk.
Seolah-olah ada dikotomi yang tidak bisa diperketemukan antara demokrasi dan theokrasi. Memang, harus diakui kalau pada awal-awalnya, demokrasi diusung untuk membungkam kekuasaan yang selalu mengatasnamakan agama atas perilaku kekuasaannya. Tapi, hal ini sungguh merupakan suatu ketidakadilan dan ketidakjujuran akademik. Kalau merujuk pada kekuasaan pra–renaissance di mana kekuasaan agama di Eropa berbuat kezaliman atas nama ketuhanan, itu memang benar.
Tapi justru masa sebaliknya, di masa keemasan Islam, theokrasi justru dipakai untuk mengarahkan seluruh energi kekuasaan untuk penyembahan kepada tuhan yang satu.
Dalam theokrasi ala Eropa, ketuhanan dan kemanusiaan dipisahkan, agama dan keilmuwan diceraikan. Hasilnya adalah demokrasi yang kering dari nilai-nilai ketuhanan. Hasilnya adalah humanisme individualis, di mana manusia justru menjadi tuhan itu sendiri, di mana, manusia menjadi alat ukur utama dari kekuasaan. Hasilnya adalah demokrasi yang kerontang dari nilai-nilai kebaikan keilahian.
Mengapa nilai keilahian sangat penting dikedepankan? Karena nilai keilahian itu melebihi batas-batas relativisme kemanusiaan dan kebudayaan. Karena dia tidak tersandera dan berada di luar jangkauan konsepsi objektivitas yang picik. Karena nilai-nilai keilahian itu memiliki sifat absolutisme, kemutlakan yang tak mempunyai gelombang perubahan ruang dan waktu.
Dulu tuhan itu satu, maka sampai kapanpun, ada atau tidak ada ruang dan waktu, maka tuhan itu tetap satu. Bila penilaian mengenai hal-hal ini diberikan kepada manusia, maka telisiklah bagaimana manusia dan kebudayaannya mengkreasi bentuk dan sifat-sifat tuhan itu sesukanya. Perubahan itu terlihat dari watak zamannya. Ada yang mengatakan animisme, dinamisme, polytheisme dan seterusnya. Akhirnya, tuhan malah dikesampingkan dan lantas dibunuh. Tak mengherankan banyak saintis Eropa yang dengan bangga menuliskan dirinya ataupun mengakui di media-media, bahwa mereka termasuk golongan atheis.
Ketika tuhan saja sanggup untuk dipermainkan, dikesampingkan dan dibunuh, maka apalah artinya seorang nyawa manusia yang konon menjadi landasan dalam hitung-hitungan demokrasi? (*)
3 thoughts on “Ibarat Pedang”