SEORANG penjual susu memarkir gerobaknya di depan sebuah masjid di pinggir jalan yang tidak berapa ramai. Dhuzhur sudah tiba. Baju kaus yang sudah mulai agak buram digerus hari, membungkus kulitnya yang hitam terbakar. Pinggir-pinggir kedua kakinya tampak gurat-gurat pecah; saksi panjangnya jalan yang harus dia tempuh setiap hari beralas sandal yang pasti akan kumal karena debu. Dialirkannya air dari kepala sampai ujung kaki; digosoknya kuat-kuat hingga bersih. Lalu, mendirikan shalat di teras samping masjid.
Sehabis shalat, si penjual susu menyelonjorkan kaki, mendengar imam yang membuka pengajian singkat setelah shalat. Isinya tentang Rabi’ul Awal, bulan di mana Muhammad SAW dilahirkan. Dia menyimak:
“Para sahabat adalah kelompok yang beruntung. Mereka berjumpa setiap hari dengan nabi. Memandang wajahnya, mendengar ucapan dan melaksanakan perintahnya. Bila mereka salah, mereka dapat menanyakan langsung kepada nabi. Hidup mereka dijaga dalam kesucian dari hal-hal terlarang. Juga dipenuhi dengan pahala dan kebaikan karena nabi memberi mereka petunjuk perbuatan-perbuatan dan akhlak yang karim. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan sesuatu. Kalau nabi tidak menyetujui ataupun tidak melarang tindakan mereka, maka mereka langsung tahu hukumnya. Mereka tahu, mereka hidup dalam dua masa yang bertolak belakang: jahiliyah yang penuh dengan kebodohan dan dosa, kemudian berpindah ke dalam masa Islam yang rahmatan lil alamin. Karena itu, nabi adalah keberkahan yang tidak terhitung dalam hidup mereka.“
“Dalam suasana seperti itu, seluruh manusia diikat oleh rasa saling menyayangi dan mendoakan keselamatan setiap hari, setiap waktu. Ucapan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh itu, tidak berada dalam derajat sapaan biasa-biasa saja, bukan hanya sebuah identitas sosial umat Islam. Dia diucapkan dengan penuh kesadaran untuk saling mendoakan, saling menjaga. Dia tidak akan ada artinya diucapkan seandainya manusia lain yang diberi salam itu justru berada dalam keadaan tidak selamat, kacau, susah, dan seterusnya, sementara dia tak melakukan apa-apa. Salam adalah tindakan sekaligus kontrol sosial. Dia wajib tahu kondisi kanan kirinya. Bila manusia lain sedang kesusahan, maka tumbuhlah kewajiban untuk menyelamatkan dan menggembirakan mereka. Itu bukanlah sekadar sapaan biasa.”
“Selain sahabat, para ulama dan orang-orang saleh juga hidup dalam keberuntungan karena dengan ketinggian ilmunya, mereka dapat mengetahui apa yang benar dan salah. Hidup mereka terjaga sepenuhnya karena nabi. Mereka begitu mencintainya sehingga sebagian di antara mereka diizinkan untuk bertemu tidak langsung dengan nabi melalui mimpi…”
* * *
Si penjual susu yang berada di teras masjid menunduk pelan-pelan. Hidupnya banyak kesalahan karena dia tidak memiliki ilmu yang cukup untuk mengetahui hukum sebuah tindakan; apakah wajib, sunat, haram, mubah, atau makruh. Dia juga tak mampu membawa kejayaan seperti yang dilakukan di masa keemasan Islam. Dia tak memiliki pasukan apalagi uang banyak untuk membangun masjid megah, gedung perjuangan dan pendidikan Islam yang mumpuni. Dia pada dasarnya tak punya apa-apa, selain diri, keluarga, dan agamanya.
Tentang agamanya itu pun, dia hanya sedikit saja tahu. Dia tahu tentang Muhammad SAW yang selalu merangkul orang-orang seperti dirinya. Bahwa antara diri nabi yang suci dan mulia itu dengan orang miskin serta anak yatim, seperti dekatnya jari-jari tangan. Bahwa nabilah yang membawa budak-budak kulit hitam dalam lingkaran terdekatnya dan memeluknya. Bahwa nabi yang memerintahkan larangan untuk menghardik orang-orang kecil sepertinya. Bahwa nabi yang melindungi mereka dari kejamnya dunia yang begitu tak adil ini. Dari jerat-jerat rentenir penyebar utang dan riba. Dari kesengsaraan karena kelaparan dan kematian, karena nabi telah memerintahkan dan mengatur zakat, anjuran sedekah, hukum yang hak dan adil bagi mustadha’afin seperti dirinya. Pelindung yang selalu tersenyum lebar kala memeluk mereka. Adalah nabi yang mengangkat dirinya menjadi bagian besar dari manusia-manusia yang punya hak untuk hidup dan berusaha dalam bumi milik Allah ini, tidak dikotak-kotakkan diskriminasi ras, kasta, dan kelas manusia-manusia; membebaskannya dari perbudakan. Dia memang tidaklah kaya, tetapi merdeka. Nabi-lah yang membuatnya menjadi manusia kembali…
Pascashalat Jum’at, si penjual susu tadi membagi-bagikan sebagian susu jualannya kepada para jemaah. Dia kelihatan begitu enggan menjawab saat ditanya mengapa. “Saya tak pernah berjumpa baginda nabi untuk menghaturkan terimakasih. Cuma ini yang saya bisa,” kata dia, pelan.
Dia pergi, menjajakan sisa susunya kembali. (*)
Nirwansyah Putra
[indhie]