Nirwansyah Putra
Medan, September 2020
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) adalah salah satu panggung yang memberi tontonan arogansi pusat politik kekuasaan. Jakarta telah memerlihatkan hegemoni luar biasa yang diterapkan dalam supra dan infrastruktur politik. Fenomena di partai politik (parpol), elit, wacana hingga media, telah menggambarkan determinasi yang begitu kuat ke seluruh wilayah Indonesia, baik provinsi, kabupaten dan kota. Kekuatannya bersifat memaksa. Basis dari semua ini adalah politik kekuasaan sentralistik.
Hal itu terlihat, pertama, atas putusan-putusan mengenai nama bakal calon kandidat yang diusung parpol dalam pergelaran pilkada di 2020 ini dan sebelum-sebelumnya. Meski ada prosedur di tingkat lokal dan rekomendasi internal partai lokal, namun, siapapun mafhum kalau semua itu bisa dimentahkan begitu saja oleh pusat. Sosok yang sudah menjalin lobi internal di tingkat kader dan pengurus partai, melakukan sosialisasi di titik-titik konstituen, dan kemudian mendapat rekomendasi di tingkat daerah dan wilayah/provinsi, ternyata bisa tersingkir oleh selembar putusan pusat. Nama-nama partai itu tidaklah usah disebutkan dalam artikel ini, karena praktik sentralistik ini sudah menjadi realitas umum.
Karena itu pula, lobi-lobi politik untuk menjadi kepala di suatu daerah pada saat ini justru lebih diutamakan dilakukan di Jakarta daripada rakyat di daerah. Dalam musim pilkada ini, dapat dibayangkan betapa sibuk dan ramainya politisi lokal ke Jakarta untuk merayu tandatangan ketua umum pengurus pusat partai politik. Gelanggang pertarungan pilkada tampaknya sudah pindah ke Jakarta.
Praktik ini berjalan kontinu dan dipertontonkan secara gamblang seolah-olah tanpa pernah melihat apakah politisi lokal dan terutama rakyat di daerah mempunyai keinginan tersendiri yang beda dengan pusat atau tidak. Pertunjukan itu lancar dan mulus bak jalan tol yang dibangga-banggakan itu.
Praktik saat ini bahkan lebih buruk dari masa sentralisasi politik kekuasaan di masa Orde Baru (orba). Bila diukur selama orba, kita ambil saja contoh sosok yang muncul sebagai Gubernur Sumatera Utara (Sumut): PR Telaumbanua (1965-1967), Marah Halim Harahap (1967-1978), EWP Tambunan (1978-1983), Kaharudin Nasution (1983-1988), dan Raja Inal Siregar (1988-1998). Kecuali PR Telaumbanua, mereka kesemuanya berbasis militer. Siapapun paham, militer memiliki hirarki komando dan Soeharto sebagai pimpinan eksekutif tertinggi juga berbasis militer. Namun, meski direkomendasi, didukung dan diputuskan di Jakarta, keseluruhan nama-nama itu mempunyai basis lokal yang jelas dan tegas. Mereka bukan tokoh karbitan. Mereka patut disanjung sebagai tokoh lokal yang mempunyai reputasi dan jaringan tingkat nasional dan bahkan internasional.
Namun, yang kini terjadi adalah sebaliknya. Orang yang dilontarkan Jakarta ke Sumut bahkan pernah tak memiliki basis lokal yang nyata dan bahkan berlaga pula menjadi pimpinan daerah. Mesti diingat, umur provinsi Sumut dalam lingkup administrasi Indonesia ini hanya beda 3 tahun dengan usia republik ini. Diukur lebih jauh, wilayah-wilayah di dalam Sumut, misalnya ibukota provinsi Kota Medan, bahkan sudah berumur ratusan tahun. Karena itu, dalam memilih siapa kepala daerah di wilayah ini, sepatutnya Sumut jangan didikte seperti wilayah yang baru lahir. Karena bahkan untuk daerah yang baru lahir saja, hal itu taklah patut dilakukan.
Bila diukur selama orba, kita ambil saja contoh sosok yang muncul sebagai Gubernur Sumatera Utara (Sumut): PR Telaumbanua (1965-1967), Marah Halim Harahap (1967-1978), EWP Tambunan (1978-1983), Kaharudin Nasution (1983-1988), dan Raja Inal Siregar (1988-1998). … Namun, meski direkomendasi, didukung dan diputuskan di Jakarta, keseluruhan nama-nama itu mempunyai basis lokal yang jelas dan tegas. Mereka bukan tokoh karbitan. Mereka patut disanjung sebagai tokoh lokal yang mempunyai reputasi dan jaringan tingkat nasional dan bahkan internasional.
Kedua, putusan parpol mengenai nama bakal calon dalam pilkada, inheren dengan putusan dan fenomena politik di internal parpol. Misalnya mengenai struktur parpol. Pusat begitu digdaya menentukan susunan komposisi elit dan pejabat parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Seandainya pusat mau saja, maka mereka mampu mengintervensi langsung susunan kepengurusan partai politik hingga ke tingkat ranting!
Praktik sentralistik ini begitu dahsyatnya sehingga parpol di tingkat lokal, pada hakikatnya, tak mampu menentukan keputusan apapun karena seluruh putusannya harus dikonsultasikan ke Jakarta. Mereka tak boleh mempunyai pemikiran berbeda dengan pusat. Daya tawar politik lokal sangat rendah, kalau tidak bisa dikatakan nol sama sekali. Jangan coba-coba berbeda dengan keputusan pusat karena ancaman pemecatan dari parpol sudah terlalu sering dilontarkan Jakarta. Dan itu memang dibuktikan oleh Jakarta.
Dalam beberapa level kebijakan politik tertentu, satu garis kebijakan parpol memang diperlukan. Misalnya untuk ideologi partai, program nasional parpol, kebijakan parpol terhadap isu strategis berlevel nasional misalnya kenaikan harga bahan bakar, pertahanan keamanan, luar negeri dan lain sebagainya. Itu tandanya, parpol di tingkat pusat mestinya tetap berada di koridor permasalahan level nasional dan bukannya ikut campur dalam masalah seperti siapa orang yang mesti menyuguhkan kopi untuk Pak Lurah.
Memang benar pula, dalam tubuh internal parpol pun ada kepentingan, agregasi dan integrasi masing-masing elit dan kelompok politik. Artinya, elit parpol tingkat pusat akan melakukan konsolidasi politik di internal parpol. Ini hal wajar. Parpol juga sudah ditakdirkan sebagai tempat pertarungan para politisi. Namun, urusan parpol bukan hanya dalam skala in dan out-group, melainkan lebih hakiki dari itu. Parpol adalah sarana politik rakyat untuk masuk, mempengaruhi hingga merebut kekuasaan. Artinya, rakyatlah nyawa dari parpol. Parpol tidak boleh berposisi sebagai sebuah perusahaan karena dia memang bukan sebuah perusahaan.
Sekilas, hal itu tampaknya suatu angan-angan. Namun, kenyataannya tidak, kok. Nama-nama yang dimunculkan oleh kekuasaan di masa orba seperti di atas, paling tidak bisa diajukan sebagai contoh kasar. Soeharto, sebagai pemegang kekuasaan orba, dapat dinilai memosisikan dirinya “hanya” sebagai “raja besar” sehingga tak perlu terlalu dalam ikut campur dalam masalah politik di tingkat lokal. Yang diperlukan dari daerah, sesuai dua dari trilogi pembangunannya, adalah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Stabilitas kekuasaan akan tergoyang kalau dia sepele dengan aspirasi lokal dalam perhelatan lokal. Soeharto juga tak menjadikan anak-anaknya sebagai kepala daerah. Dalam masa itu, siapa pula yang berani menyangkal Soeharto? Tapi ‘kan untuk apa? Dia memilih bermain di tengah samudera daripada masuk ke dalam parit yang dangkal.
Masa orba juga memerlihatkan begitu banyak politisi lokal menjelma menjadi politisi tingkat nasional. Dalam piramida kekuasaan orba, politisi lokal berusaha menapak kekuasaan di tingkat nasional dalam berbagai jalur politik orba. Dan mereka berhasil. Begitu panjang daftar politisi dari lokal itu sehingga artikel singkat ini bisa-bisa seluruhnya hanya penuh oleh nama-nama orang.
Tapi jangan salah sangka, artikel ini bukanlah sanjungan untuk Soeharto dan orba seperti kelatahan beberapa orang dan kelompok setelah lebih dua dekade reformasi di negeri ini.
Ketiga, sentralisasi ini dikelilingi pula oleh produksi dan distribusi wacana yang juga sentralistik. Wacana ini bahkan sudah menjelma menjadi semacam propaganda saja. Rakyat di daerah dikepung oleh agenda media di tingkat pusat dalam setiap detik sehingga begitu hafal dan lancar membicarakan tingkah dan statemen elit-elit politik, pengamat-pengamat, lembaga survei, kelompok kepentingan, hingga aktivis di Jakarta sana. Tapi saya benar-benar ragu, apakah Jakarta tahu daerah bernama Batangkuis, Tembung, atau Kampung Lalang, seperti laiknya orang Batangkuis, Tembung dan Kampung Lalang setiap waktu harus menyimak informasi kemacetan di Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok dan sekitarnya itu? Tapi baiklah, untuk soal ini kita tuliskan untuk artikel yang lain saja.
Sering pula digembar-gemborkan keharusan keterkaitan dan kesinambungan program pusat berikut anggarannya dengan sosok yang bakal diajukan dalam pilkada. Bahwa sosok yang mempunyai kaitan langsung dengan sumbu kekuasaan di tingkat pusatlah yang bisa menjamin berjalannya program dan kesinambungan pembangunan. Bahwa parpol dan tokohnya yang tak sejalan dengan pusat kekuasaan akan membuat pembangunan mandeg.
Itu manipulasi. Pertama, salah satu tugas parpol melalui fraksinya di legislatif adalah pengawasan. Artinya, parpol punya posisi menawarkan perbedaan dan kontrol langsung terhadap lembaga kekuasaan eksekutif melalui tangannya di legislatif. Karena itu, nilai kesamaan dan perbedaan dalam menilai program pembangunan, bagi parpol, ada dalam bobot yang sama. Sama boleh, beda juga sah, tak ngomong juga tak apa-apa.
Kedua, dalam kerangka kelembagaan negara, tidak boleh ada anggapan bahwa kesinambungan pembangunan mesti didasari atas kuat tidaknya lobi dan relasi terhadap pusat kekuasaan di Jakarta. Meski di tingkat provinsi ada status “wakil pemerintah pusat”, tapi sebagai pemimpin lokal, gubernur dipilih langsung oleh rakyatnya dan karena itu dia bertanggungjawab langsung kepada rakyat di daerah tersebut. Demikian juga bupati dan walikota. Pusat tidak boleh memosisikan kepala daerah sebagai pengemis program dan anggaran. Karena itu, meneruskan praktik sentralistik tak ada bedanya dengan merendahkan martabat rakyat di daerah.
Kerakyatan vs Kerajaan
Apa kata dasar negara? Persatuan Indonesia tidak mungkin dimaknakan seperti bersatunya antara tuan dan budak atau antara majikan dan pembantu. Setiap manusia di negeri ini mempunyai hak yang sama atas dasar yang adil dan beradab. Setara untuk berusaha dan maju menjadi pemimpin dan membangun wilayahnya masing-masing. Karena hasrat kekuasaan begitu dahsyat, dan akan begitu mudah merubah kekuasaan menjadi alat untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok ataupun wilayah tertentu, maka pendiri Indonesia yang dari beragam orang dan wilayah itu, menuliskan dasar yang terakhir di konstitusi sebagai antisipasi dan jaminan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dus, negara ini menghormati setiap orang yang berniat menjadi pemimpin. Kekuasaan adalah hal mulia. Karena itu, parpol sebagai jalan menuju kekuasaan, punya landas kedudukan agar ada jaminan bahwa setiap orang dari berbagai latar belakang, siapapun itu, dapat melalui jalur yang sama untuk memimpin negeri ini.
Negeri ini bukan punya segelintir orang. Ataupun yang punya darah biru kekuasaan yang berhasrat terus melanggengkan kekuasaan di keluarga dan kelompoknya saja. Kata guru-guru mengaji kita, kekuasaan itu dipergilirkan. Dasar kita adalah kerakyatan, bukan kerajaan. Tapi, kalau memang politik kekuasaan sentralistik diteruskan dan dipertontonkan tanpa malu-malu, mengapa pusat tak sekalian mengubah diri menjadi kerajaan saja? Kita punya sejarah kerajaan, kok. (*)
catatan: Artikel ini sebelumnya diterbitkan di rubrik Opini Harian Waspada Medan edisi Jum’at, 4 September 2020.