H. Mujahiddin, S.Sos, MSP
Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU
Direktur Eksekutif MuhRaz Institut
JUDUL di atas pada dasarnya terinspirasi dari karya tulis Lester R Brown (1978) yang berjudul The Twenty Ninth Day: Accommodating Human Needs and Numbers to the Earth’s Resources. Karya ini kemudian oleh Yayasan Obor disunting dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: Hari Yang Kedua Puluh Sembilan. Penyematan judul pada karya Brown tersebut di latar belakangi oleh kebiasaan orang-orang Prancis yang menggunakan teka-teki untuk mengajarkan pada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Teka-teki itu mengisahkan, “sebuah kolam teratai, berisi selembar daun.Setiap hari, jumlah daun tersebut berlipat dua. Dua lembar daun pada hari kedua, empat lembar daun pada hari ketiga, delapan lembar daun pada hari keempat dan seterusnya”. Jika kolam tersebut penuh pada hari ketiga puluh, begitu teka-teki itu ditanyakan, “maka kapankah kolam tersebut berisi separohnya?” jawabannya adalah: “Pada hari kedua puluh sembilan.”
Kisah tentang teka-teki tersebut dituliskan oleh Brown pada pragraf awal di Bab Pendahuluan bukunya. Dari teka-teki itu, Brown ingin menganalogikan bahwa kolam teratai tersebut merupakan dunia yang sedang kita huni dan terus mengalami kepadatan akibat pertumbuhan populasi manusia. Pada masa buku ini ditulis tepatnya pada tahun 1978 jumlah penduduk dunia mencapai 4 miliar jiwa dan jumlah tersebut terus mengalami peningkatan hingga tahun 2019 jumlahn populasi manusia di dunia sudah mencapai 7,7 milyar jiwa. Angka tersebut tumbuh 1,08 persen dari tahun 2018 yang jumlahnya sebesar 7,6 miliar jiwa (Jayani, 2019).
Buku karya Brown ini pada dasarnya ingin menggambarkan persoalan pertumbuhan penduduk yang dapat memberikan ancaman serius terhadap keberlanjutan lingkungan. Apalagi jika pertumbuhan penduduk tersebut tidak dikelola dan diantisipasi dengan cermat tentu akan memberikan dampak pada daya dukung lingkungan yang akan terus berkurang. Brown memberikan contoh dengan mengungkapkan bahwa:
“Sistem-sistem biologi tempat bergantungnya umat manusia berfungsi sebagai suatu yayasan amal yang bermodalkan dana dalam jumlah tertentu. Kalau suatu yayasan mempunyai dana sebesar seratus juta dollar yang menghasilkan 6 persen setahun. Ia dapat mengeluarkan enam juta dollar dengan aman tiap tahun tanpa batas. Tetapi kalau pemimpin proyek yang terlalu bergairah, mulai mengeluarkan dana dari yayasan dalam jumlah sepuluh juta dollar setahun, taraf hibah ini secara berangsur akan menggerogoti modal keuangan landasan itu. Pada akhirnya lembaga itu akan kehilangan modal produktifnya dan menutup pintunya.” Begitulah gambaran dari daya dukung lingkungan yang saat ini sudah mengalami defisit dan kehilangan produktifitas serta kemampuannya untuk memulihkan diri akibat dari eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan manusia dan pembangunan.
Konteks Indonesia
Apa yang dikwatirkan oleh Brown tentang dampak pertumbuhan penduduk terhadap keberlangsungan daya dukung lingkungan sebenarnya sudah mulai terjadi di banyak kota besar di dunia. Pada konteks Indonesia, mulai berkurangnya daya dukung lingkungan dapat dilihat dari semakin seringnya bencana alam meteorologi terjadi. Baru-baru ini, Ibu Kota Indonesia Jakarta dan sekitarnya; Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi mengalami banjir yang luar biasa besar. Bagi beberapa pengamat, bencana banjir kali ini merupakan bencana banjir terparah dalam sejarah Jabodetabek. Tingginya intensitas hujan pada 1 Januari 2020 lalu, yang masuk dalam katagori ekstrim, menjadi alasan tambahan mengapa banjir di Jabodetabek semakin meluas dan merugikan banyak orang. Padahal, kondisi ini menandakan bahwa daya dukung lingkungan semakin tahun semakin berkurang sehingga memunculkan efek bencana yang semakin parah.
BACA JUGA:
Penebangan hutan hingga gundul, perubahan tata guna lahan dari lahan resapan air menjadi pemukiman atau industri, adanya penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan dan banyaknya timbulan sampah pada aliran sungai menjadi bukti empiris tentang adanya praktik pengerusakan ekosistem lingkungan baik secara sadar maupun tidak sadar. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi wilayah aliran dan resapan air berubah fungsi sehingga krisis ekologi yang berujung pada bencana banjir misalnya, tidak dapat terelakan lagi dan menjadi semakin parah tiap tahunnya.Dalil alih fungsi lahan untuk kepentingan sosial-ekonomi manusia seolah-olah menjadi keharusan di tengah pertumbuhan penduduk yang terjadi setiap tahun.
Jika kita membaca proyeksi jumlah penduduk Indonesia 2015-2045 maka akan tampak bahwa penduduk di Pulau Jawa pada tahun 2019 lalu mencapai 150,4 juta jiwa. Jumlah ini setara dengan separuh penduduk Indonesia yang mencapai 266,91 juta jiwa. Adapun provinsi di Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Jawa Barat dengan 49 juta jiwa, Jawa Timur dengan 39,74 juta jiwa, Jawa Tengah 34,55 juta jiwa. Diikuti kemudian dengan Banten sebanyak 12,71 juta jiwa dan DKI Jakarta 10,5 juta jiwa (BPS, 2018). Ironisya, besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa tidak diikuti dengan ketersedia luas lahan yang memadai yakni hanya seluas 128.297 km persegi.Aziza (2017) lalu mengatakan dengan besaran jumlah pendudk dan luas lahan Pulau Jawa tersebut, maka dapat dikatakan bahwa 50 sampai 60 persen penduduk Indonesia yang ada di Pulau Jawa tinggal di atas tanah yang jumlahnya cuman 6 persen dari total area Indonesia.
Gambaran di atas menjadi tanda apa yang dikawatirkan Brown dalam bukunya sedang terjadi di Indonesia. Jika kondisi ini tidak bisa diantisipasi dan dicegah maka krisis ekologi akan terus berlanjut dan defisit daya dukung lingkungan akan menjadi lebih cepat. Tumbuhnya daun teratai dan akan menutupi kolam pada hari ketigapuluh seperti yang digambarkan Brown pada bukunya bukan tidak mungkin akan terjadi. Acaman dari krisis ekologi ini harus segera diatasi. Jika tidak maka kita –seperti yang saya sematkan pada judul –sedang menuju hari ketigapuluh. (*)
One thought on “Menuju Hari Ketiga Puluh”