Resolusi Khartoum 1 September 1967: Tidak Ada Damai dengan Israel – indhie.com

Resolusi Khartoum 1 September 1967: Tidak Ada Damai dengan Israel

Tank pasukan Israel menginvasi semenanjung Sinai, Mesir, pada 6 Juni 1967 dalam Perang Enam Hari antara Israel dan Negera-negara Arab. [Foto: mintpressnews/AP Photo]

1 SEPTEMBER 1967 | Pertemuan Liga Arab di Khartoum, Sudan, mengeluarkan Resolusi Khartoum. Pertemuan yang digelar sejak 29 Agustus 1967 – 1 September 1967 itu digelar setelah Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) antara koalisi negara-negara Arab (utamanya Jordan, Mesir, Irak, Suriah, Lebanon) melawan Israel.

Negara-negara yang hadir yaitu Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan. Resolusi ini terkenal dengan tiga “No” (tidak) yang ditujukan untuk Israel, yaitu No peace with Israel, No recognition of Israel, No negotiations with it.

Isi Resolusi Khartoum itu adalah :



1. Konferensi menegaskan persatuan negara-negara Arab, kesatuan aksi bersama dan perlunya koordinasi dan untuk menghilangkan semua perbedaan. Raja, Presiden dan perwakilan dari Kepala Negara Arab lainnya di konferensi telah menegaskan pendirian negara mereka untuk mengimplementasikan Piagam Solidaritas Arab yang ditandatangani pada konferensi puncak Arab ketiga di Casablanca.

2. Konferensi menyepakati perlunya mengkonsolidasikan semua upaya untuk menghilangkan efek agresi atas dasar bahwa tanah yang diduduki adalah tanah Arab dan bahwa beban untuk mendapatkan kembali tanah ini menjadi tanggungan semua negara Arab.

3. Para Kepala Negara Arab sepakat untuk menyatukan upaya politik mereka di internasional dan level diplomatik untuk menghilangkan efek agresi dan memastikan penarikan agresif pasukan Israel dari tanah Arab yang telah diduduki sejak agresi 5 Juni. Ini akan dilakukan dalam kerangka prinsip-prinsip utama yang dipatuhi oleh negara-negara Arab, yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, tidak ada negosiasi dengannya (Israel), dan desakan hak-hak rakyat Palestina di negara mereka sendiri.

4. Konferensi Menteri Keuangan, Ekonomi dan Perminyakan Arab merekomendasikan penangguhan pemompaan minyak untuk digunakan sebagai senjata dalam pertempuran. Namun, setelah mempelajari masalah tersebut secara menyeluruh, konferensi puncak telah sampai pada kesimpulan bahwa pompa minyak itu sendiri dapat digunakan sebagai senjata yang positif, karena minyak adalah sumber daya Arab yang dapat digunakan untuk memperkuat ekonomi negara-negara Arab yang terkena dampak langsung agresi, sehingga negara-negara ini akan mampu berdiri teguh dalam pertempuran. Oleh karena itu, konferensi telah memutuskan untuk melanjutkan pemompaan minyak, karena minyak adalah sumber daya Arab positif yang dapat digunakan untuk melayani tujuan-tujuan negara Arab. Ini dapat berkontribusi pada upaya untuk mengaktifkan negara-negara Arab tersebut yang telah terkena agresi tersebut dan dengan demikian kehilangan sumber daya ekonomi untuk berdiri teguh dan menghilangkan efek agresi. Negara-negara penghasil minyak, pada kenyataannya, telah berpartisipasi dalam upaya untuk mengaktifkan negara-negara yang terkena dampak agresi untuk berdiri teguh dalam menghadapi tekanan ekonomi apapun.

Pengungsi Palestina saat terjadi Perang Enam Hari antara Israel dan Negara-negara Arab, 1967. [Foto: UN Photo/mintpressnews]
5. Para peserta konferensi telah menyetujui rencana yang diusulkan oleh Kuwait untuk membentuk Dana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Arab berdasarkan rekomendasi dari konferensi Menteri Keuangan, Ekonomi dan Minyak Arab di Baghdad.

6. Para peserta sepakat tentang perlunya mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat persiapan militer dalam menghadapi semua kemungkinan.

7. Konferensi telah memutuskan untuk mempercepat penghapusan pangkalan asing di negara-negara Arab.

Pascaresolusi ini, negara-negara Arab, terutama Mesir dan Suriah, terlibat perang kembali dengan Israel pada 6-25 Oktober 1973. Peperangan itu disebut banyak media barat dan Israel sebagai Perang Yom Kippur sedangkan literatur Arab banyak menyebutnya sebagai Harb Uktubar (Perang Oktober) atau Harb Tisrin (Perang Bulan Ke-10). Perang itu terjadi di dua masa suci bagi kaum Yahudi dan umat Islam. Bagi Yahudi, Yim Kippur merupakan hari suci yang ditandai dengan puasa dan doa, sedangkan bagi umat Islam pada Oktober itu merupakan bulan suci Ramadhan. (*)

Leave a Reply