Dokumen Future of Palestina disebut juga Memorandum Samuel. Memo ini disampaikan oleh Herbert Samuel, seorang politisi Inggris dan Presiden Dewan Pemerintahan Daerah Inggris, kepada Kabinet Inggris pada Januari dan Maret 1915, dua bulan setelah deklarasi perang Inggris terhadap Kekaisaran Ottoman. Memorandum tersebut mempengaruhi sejumlah anggota kabinet pada bulan-bulan sebelum negosiasi kesepakatan Sykes-Picot, dan kemudian Deklarasi Balfour pada 2 November 2017. Memo ini merupakan sebuah catatan resmi pertama yang meminta dukungan orang Yahudi dalam perang yang akan dilakukan Inggris.
Deklarasi Balfour mengungkapkan dukungan resmi kerajaan Inggris terhadap pembentukan negara Yahudi di Palestina. Sebelumnya, Zionisme pertama kali telah dibahas di tingkat Kabinet Inggris pada 9 November 1914, empat hari setelah deklarasi perang Inggris terhadap Kekaisaran Ottoman. David Lloyd George, Kanselir Exchequer (merupakan Pejabat Senior dan Kepala Harta Kerajaan di Kerajaan Inggris) menanggapi zionisme sebagai: “mengacu pada takdir utama Palestina.” Untuk diketahui, Firma hukum Lloyd yaitu George Lloyd George, Roberts and Co, sebelumnya sudah pernah terlibat kerjasama selama satu dekade sebelum pertemuan itu dengan Federasi Zionis Inggris Raya dan Irlandia di Uganda.
Dalam buku memoir Samuel, Grooves Of Change: A Book Of Memoirs, Samuel mengisahkan, dalam sebuah diskusi setelah pertemuan dengan sesama Zionis dan dirinya, Lloyd George meyakinkan dirinya bahwa “dia sangat ingin bertemu dengan sebuah negara Yahudi yang didirikan di Palestina.” Samuel kemudian menggarisbawahi posisi zionis yang lebih dalam dengan Sekretaris Luar Negeri Inggris, Edward Gray. Dia berbicara tentang aspirasi Zionis dalam berdirinya sebuah negara Yahudi di Palestina dan pentingnya posisi geografisnya terhadap Kerajaan Inggris.
Samuel menulis: “Saya menyebutkan bahwa dua hal akan menjadi penting – bahwa negara itu harus dinetralisir, karena mereka tidak cukup besar untuk mempertahankan diri, dan bahwa akses gratis peziarah Kristen harus dijamin. Saya juga mengatakan akan menjadi keuntungan besar jika sisa Suriah dicaplok oleh Prancis, karena akan jauh lebih baik bagi negara itu untuk memiliki kekuatan Eropa sebagai tetangga daripada orang-orang Turki.”
Pada malam yang sama, Perdana Menteri Inggris waktu itu, Herbert Henry Asquith (menjabat 1908-1916) mengumumkan bahwa penggusuran Kekaisaran Turki telah menjadi tujuan perang dalam sebuah pidato Perjamuan Walikota London di Mansion House: “… bukankah kita telah membunyikan lonceng kematian bagi kekuasaan Ottoman tidak hanya di Eropa tapi di Asia.”
Pada Desember 1914, Samuel juga telah bertemu Chaim Weizmann, yang setelah perang terpilih sebagai Presiden Organisasi Zionis Dunia, dan kemudian menjadi Presiden Israel yang pertama. Samuel kemudian menjadi anggota Kabinet Inggris dalam perannya sebagai Presiden Dewan Pemerintah Daerah. Menurut memoar Weizmann, The Letters and Papers of Chaim Weizmann: August 1898-July 1931, Samuel sudah sangat percaya pada Zionisme, dan menganggap bahwa tuntutan Weizmann terlalu rendah. Samuel tidak ingin membahas secara terperinci rencananya, namun menyebutkan bahwa: “mungkin Kuil Suci (Yahudi) dapat dibangun kembali, sebagai simbol kesatuan Yahudi, tentu saja dalam bentuk modern”.
“Saya menyebutkan bahwa dua hal akan menjadi penting – bahwa negara itu harus dinetralisir, karena mereka tidak cukup besar untuk mempertahankan diri, dan bahwa akses gratis peziarah Kristen harus dijamin. Saya juga mengatakan akan menjadi keuntungan besar jika sisa Suriah dicaplok oleh Prancis, karena akan jauh lebih baik bagi negara itu untuk memiliki kekuatan Eropa sebagai tetangga daripada orang-orang Turki.” (Herbert Samuel, politisi Inggris, penggagas dokumen Future of Palestine)
Pada 15 Januari 1915, Weizmann dan Samuel membahas draf memorandum di kediaman Kanselir Exchequer di Downing Street, London bersama David Lloyd-George. Kurang dari dua minggu kemudian, Samuel meneruskan nota tersebut kepada Perdana Menteri Inggris, Asquith dan Menteri Luar Negeri, Edward Gray, untuk mendapatkan persetujuan, sebelum melapor ke kabinet penuh.
Lloyd-George, yang kemudian menjadi Perdana Menteri pada saat Deklarasi Balfour, dicatat oleh Asquith untuk menjadi satu-satunya anggota Kabinet yang sangat mendukung proposal tersebut.
Memorandum tersebut dimulai catatan bahwa pecahnya Perang Dunia I memberi kesempatan untuk sebuah perubahan “dalam status Palestina”. Disebutkan juga, kemungkinan besar akan terlalu dini bagi terbentuknya sebuah negara Yahudi yang independen, dan penggabungan tersebut ke dalam Kerajaan Inggris akan menjadi solusi “yang akan sangat disambut baik oleh para pemimpin dan pendukung gerakan Zionis di seluruh dunia”.
Memorandum tersebut kemudian menetapkan lima manfaat bagi Kerajaan Inggris, di antaranya adalah meningkatkan prestise Kerajaan Inggris, dapat memperbaiki pertahanan Mesir dan bertindak sebagai perbatasan yang kuat; dan Inggris akan mendapatkan ucapan syukur yang abadi dari orang-orang Yahudi di seluruh dunia, termasuk 2 juta orang Yahudi di Amerika Serikat.
Memo Samuel menyimpulkan dengan merujuk sebuah pidato parlemen yang terkenal yang diberikan oleh Thomas Babington Macaulay, seorang sejarawan Inggris, pada 1833 saat terjadinya era kebangkitan Yahudi Inggris:
“Biarkan sebuah pusat Yahudi didirikan di Palestina; semoga tercapai, seperti yang saya yakini akan tercapai, sebuah kehebatan spiritual dan intelektual, dan dengan tidak disengaja, tapi tak dapat dipungkiri, karakter individu Yahudi, dimanapun dia berada, akan dimuliakan. Asosiasi kotor yang melekat pada nama Yahudi akan dikosongkan, dan nilai orang-orang Yahudi sebagai elemen dalam peradaban masyarakat Eropa akan meningkat…” (*)
Penulis/perangkum: Nirwansyah Putra
sumber: dirangkum dari berbagai sumber
catatan: artikel ini terdiri dari tiga tulisan yaitu Yerusalem, Konspirasi Perusuh dan Penjajah Global; Yerusalem, Maju di Tangan Islam, Hancur di Tangan Israel; dan Israel, Skenario dari London.
2 thoughts on “Israel, Skenario dari London”