MEDAN | Prof Dr Rosnidar Sembiring SH MHum dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Prosesi pengukuhan itu berlangsung di Gelanggang Mahasiswa USU, Senin (17/2/2020).
Prof Rosnidar saat ini menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. Saat pengukuhan, Rosnidar membawakan pidato berjudul “Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat: Tantangan dan Kearifan Lokal Keunggulan Global”.
Dalam pidatonya, Rosnidar menyampaikan, masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggotanya, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.
Secara legal konstitusional, sebutnya, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat telah dinyatakan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara 1945 pascaamandemen, yaitu dalam Pasal 18 B ayat (2). Pasal itu menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d) Diatur dalam undang-undang.
BACA JUGA:
- Tingkatkan Kualitas Pelayanan Akademik, UMA Terus Membangun Sarana dan Prasarana
- Berbasis Ma’had Jami’ah, Kualitas dan Kapasitas Mahasiswa UINSU Ditingkatkan
- Rektor: Terimakasih Karena Memilih UMSU
- Beri Materi LK III Badko HMI Sumut, Begini Pesan Rektor Universitas Labuhan Batu
Terkait empat persyaratan dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Rosnidar mengutip pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, hal tersebut sebagai bentuk kekuasaan negara yang hegemonial yang menentukan ada atau tidaknya masyarakat adat. Senada dengan pendapat sebelumnya, menurut Rosnidar, Soetandyo Wignjosoebroto menyebutkan empat persyaratan itu baik ipso facto maupun ipso jure akan mudah ditafsirkan sebagai pengakuan yang dimohonkan, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat adat itu oleh masyarakat hukum adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tidak mengakui secara sepihak berada di tangan kekuasaan pemerintah pusat.
Disebutkan, penghormatan dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat yang dikelola dengan kearifan lokal sebagai hak asasi manusia secara implisit juga diatur dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selanjutnya pada hasil perubahan keempat UUD 1945, dalam Pasal 32 ayat (1), negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Menurutnya, senasib dengan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat yang bersyarat, yang tertuang dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945, amanat penghormatan dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat yang diberikan oleh Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 pun masih jauh panggang dari api dalam pelaksanaannya oleh Negara.
“Salah satu pemicunya adalah rusaknya fungsi hutan yang berdampak pada berkembangnya konflik vertikal dan horizontal, konflik antara masyarakat hukum adat dengan para pendatang, serta konflik antar masyarakat hukum adat sendiri, karena hutan bagi masyarakat hukum adat adalah habitat hidup mereka. Berbagai ketentuan sebagai dasar hukum pengakuan dan perlindungan terhadap tanah ulayat yang dikelola dengan kearifan lokal sebagai hak masyarakat hukum adat telah ditetapkan, namun kenyataannya ketentuan tersebut belum dapat menyelesaikan konflik tanah ulayat yang timbul di berbagai daerah,” katanya.
Terkait masih minimnya pengakuan dan penghormatan yang diterima oleh masyarakat hukum adat yang dituangkan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap ini, Rosnidar berharap agar dapat menjadi perhatian pemerintah, baik pusat maupun pemerintah provinsi Sumatera Utara. (*)
Laporan: Hendra
2 thoughts on “Prof Rosnidar Sembiring Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Ilmu Hukum USU”