Keindahan Tanah Toraja Utara di Mata Anak Medan – indhie.com

Keindahan Tanah Toraja Utara di Mata Anak Medan

Oleh: Jasmine Jamilah
Jasmine Jamilah. [foto: dok jasmine jamilah]


Jasmine Jamilah

Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU, Peserta MBKM Program Pertukaran Mahasiswa


 

TERPILIH menjadi salah satu mahasiswa yang berhasil lolos dalam pertukaran mahasiswa adalah suatu hal yang sangat membanggakan bagi saya. Saat itu dengan persiapan yang begitu mepet dan juga berkat perpanjangan waktu yang diberikan, akhirnya jalan Allah, saya berhasil lulus. Setelah melihat portal, saya lumayan terkejut karena awalnya saya sangat ingin ke pulau Jawa. Karena keadaan covid yang sudah mereda ada harapan untuk saya belajar luring sekaligus berjalan-jalan gratis karena ada mata kuliah Modul Nusantara. Tapi impian ke pulau Jawa berakhir indah karena saya harus pergi ke pulau yang sangat jauh dari tempat tinggal saya yaitu pulau Sulawesi. Ya..saya diterima di Universitas Fajar di Makassar walaupun saya juga merasakan belajar di kampus pulau Jawa secara daring, tepatnya di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Ini juga berkah bagi saya, belajar di kampus ternama dan mengetahui bagaimana sistem kampus mereka. Sampai akhirnya hari keberangkatan tiba, tiket pesawat yang diberikan pemerintah dikirimkan ke email saya. Dengan izin orang tua yang akhirnya saya dapat, saya berangkat ke kota Daeng yaitu Makassar. Mata kuliah Modul Nusantara ini bisa dibilang mata kuliah yang sangat menyenangkan, mempelajari budaya-budaya baru yang bisa dibilang jauh berbeda dari budaya tempat tinggal saya, tempat- tempat bersejarah yang juga saya datangin dengan begitu menyenangkan. Dan salah satu tempat itu adalah Toraja.

Toraja dengan segala keberanekaragamannya, membuat saya sangat takjub. Dimulai dari Londa, tempat pertama kali saya kunjungi di Toraja. Londa adalah goa yang tuhan ciptakan, di mana goa itu digunakan untuk makan para leluhur Toraja dan keturunannya. Sedikit informasi perjalanan ke Toraja sendiri dari Makassar mengunakan bus, berkisar 7-8 jam.

Di Goa Londa, peti jenazah yang ada tidak dikuburkan tapi hanya diletakkan begitu saja. Tidak tampak aura horor dan tidak berbau mayat, meski banyak tengkorak yang berserakan dan peti mati yang berumur ratusan tahun. Kondisi dalam goa juga tidak panas sama sekali, justru berhawa sejuk dan sepoi-sepoi. Yang menarik perhatian saya adalah, ada tengkorak sepasang kekasih yang ditentang hubungannya karena sedarah, namun tengkorak mereka disatukan sebagai bukti cinta mereka.

Saya lupa menceritakan, pertama kali kita masuk ke area Londa kita akan disambut oleh kerbau Si Belang yang harganya bisa mencapai milyaran rupiah. Di Toraja, kerbau jenis ini disebut Tedong Saleko, kerbau dengan kasta tertinggi. Bagi masyarakat setempat, kerbau dianggap hewan suci yang mampu mengantarkan mereka ke alam lain yang disebut puya.

Sebelum masuk ke dalam goa, di luar goa, atau di pinggir goa terdapat patung-patung kayu berbentuk manusia yang meninggal tersebut atau yang disebut Tau-tau ialah simbol orang yang telah meninggal. Hanya dari kalangan bangsawan yang dibuatkan Tau-tau. Proses pembuatan Tau-Tau tidak boleh dikerjakan oleh sembarang orang, selama proses pembuatan juga sang pembuatnya wajib mengerjakan dekat dengan jenazah.

Dalam Goa Londa banyak dijumpai peti mati atau yang disebut Erong. Peti ini terbuat dari kayu, Tebing tinggi dengan hamparan hijau yang yang cantik ini merupakan tempat pemakaman jenazah. Pemakaman dilakukan berdasarkan kasta, anggota keluarga dengan kasta tertinggi akan menempati paling atas dari tebing. Dari proses pembuatan patung sampai pemakaman bisa menghabiskan dana berpuluh-puluh juta. Ini sedikit foto-foto saya yang ada di sana.

Goa Londa. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Goa Londa. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Goa Londa. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Goa Londa. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Goa Londa. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Lanjut dari Londa, saya bersama rombongan ke desa Kete Kesu. Di Kete Kesu ini terdapat banyak adat Toraja serta kehidupan tradisionalnya masih sangat amat kental. Dmulai dari upacara adatnya, serta artefak-artefak, dan rumah- rumah adat Toraja yang sangat kental ciri khasnya. Kete Kesu ini menyimpan berbagai peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut berupa kuburan batu, yang ditafsirkan telah berumur ratusan tahun. Dengan adanya peninggalan tersebut, bisa menjadi bukti kehidupan sebelumnya di kawasan tersebut. Kemudian banyak juga pahat-pahatan hasil buah tangan penduduk desa Keta Kesu, yang dijadikan mata pencaharian mereka, yang menjadi oleh-oleh khas Toraja untuk para wisatawan. Tidak hanya itu saja, sepanjang mata memandang, terdapat rumah adat yang disebut Tongkonan berjejer rapi hampir di setiap jalanan yang ditelusuri. Dibuat tanpa menggunakan material paku sedikit pun, rumah adat ini dibangun dengan menumpuk kayunya dengan sedemikian rupa.

Rumah adat tersebut tidak hanya akan digunakan sebagai tempat beristirahat para pemiliknya, Kolong rumahnya yang masih luas, dimanfaatkan sebagai kandang ternak kesayangannya. Bahkan bagian rumahnya pun dibagi menjadi beberapa bagian, di mana salah satu bagiannya digunakan sebagai tempat penyimpanan jenazah dari kerabatnya yang belum bisa dikuburkan.



Ciri khas lainnya dari Tongkonan, yaitu pintu rumahnya yang dibuka ke arah atas. Selain pintunya yang unik, atapnya berbentuk yang seperti perahu terkelungkup, ternyata hanya dibuat dari buritan yang dilapisi dengan ijuk hitam. Bentuk atapnya yang menarik, mengibaratkan seperti tanduk kerbau. Setiap Tongkonan yang dibangun harus menghadap utara, lantaran kepercayaan masyarakatnya, Masyarakat Toraja percaya bahwa para leluhurnya berasal dari utara, sehingga rumah adatnya pun dibangun menghadap ke arah tersebut. Bahkan mereka meyakini jika setiap orang yang telah meninggal akan berkumpul kembali dengan arwah leluhur yang berada di utara. Kepercayaan tersebut telah dipegangnya sejak beberapat tahun silam, dan hingga kini masih dijaga dengan baik.

Kemudian yang paling sangat membuat saya bangga bisa mengujungi Kete Kesu adalah saya bisa melihat langsung upacara adat Toraja atau sering disebut Rambu Solo. Rambu Solo juga bertujuan untuk mengantarkan arwah seseorang yang telah meninggal ke alam roh. Masyarakat Toraja menganggap orang yang sudah meninggal telah benar-benar meninggal jika seluruh kebutuhan prosesi upacara Rambu Solo terpenuhi. Jika belum, maka orang meninggal tersebut akan diperlakukan layaknya orang sakit, sehingga harus disediakan makanan, minuman, dan dibaringkan di tempat tidur. Upacara Rambu Solo memakan biaya yang tidak sedikit maka upacara dilakukan beberapa bulan atau beberapa tahun, bahkan bertahun setelah seseorang meninggal. Besarnya biaya upacara Rambu Solo karena upacara ini membutuhkan penyembelihan kerbau atau babi yang jumlahnya tidak sedikit (Ma’tinggoro Tedang) dan lamanya prosesi upacara. Pemberian babi atau kerbau kepada keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikatan kekeluargaan. Pemberian babi atau kerbau kepada keluarga yang ditinggalkan memiliki dua wujud, yaitu pertama sebagai bentuk belasungkawa (Pa’uaimata) dan pengembalian atas pemberian yang dilakukan oleh keluarga pelaksana Rambu Solo di masa lalu (Tangkean Suru’).

Sangat seru melihat tradisi-tradisi ada seperti ini. Saya yang bisa dibilang anak rumahan, dan tidak terlalu mengenal budaya-budaya yang ada di tanah kelahiran saya Indonesia, melihat tradisi seperti ini masih dilakukan saya sangat bersyukur akan itu. Walau saya bukan asli orang Toraja tapi saya sangat bangga, dan menghormati tradisi-tradisi dan keberanekaragaman yang ada di Toraja. Indonesia sangat kaya dengan kebudayaan, semoga tradisi-tradisi ini akan terus terjaga, dan menjadi nilai jual dari indonesia. Ini foto-foto kami saat berada di Kete Kesu.

Kete Kesu. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Kemudian dari desa Kete Kesu kami menuju ke negeri di atas awan, daerah yang sangat amat indah, berada di ketinggian 1300 dari permukaan air laut. Daerah yang kami kunjungi ini bernama Lolai. Untuk melihat suasana seolah-olah kita berada di awan, kami harus menunggu keesokan harinya. Tepat di pagi hari setelah shalat subuh, waktu Indonesia bagian tengah, saya menyaksikan keindahan alam yang luar biasa tersebut.

Dan di penginapan saya ini, juga terdapat kuburan sanak saudara mereka, yang berwujud kuburan batu, yang saat itu sempat terinjak kami saat berfoto, karena tidak nampak seperti kuburan pada umumnya. Untung tidak terjadi hal-hal yang diinginkan. Sebelum sampai di negeri atas awan tersebut, kami sempat putus asa karena jalanan yang kami lewati begitu ekstrim dan ada longsor. Namun berkat izin yang maha kuasa kami bisa melalui perjalanan tersebut dengan baik dan bisa menikmatin keindahan alam negeri di atas awan. Dan bersyukurnya saya bisa menikmati ini semua secara gratis. Bahkan saat saya berada di kota medan, saya jarang sekali traveling ke alam seperti ini karena kendaraan yang tidak ada, dan circle saya jarang bertraveling, hanya sekedar di kafe. Jarang sekali ketempat-ketempat yang erat dengan kebudayaan.

Lolai. [Foto: dok Jasmine Jamilah]
Saya amat sangat bersyukur bisa mendapatkan program ini dan mempelajari budaya-budaya Sulawesi. Saya anak muda Medan, jadi terbuka pikirannya untuk mempelajarin dan menjelajahi indonesia. Khususnya daerah tempat tinggal saya Sumatera Utara, masih banyak sekali keberanekaragam Sumatera Utara yang belum saya ketahui. Semoga ke depannya saya bisa menjelajahi Sumatera Utara, tanah kelahiran saya. (*)