Penulis: Nirwansyah Putra
Sukarno dan Mohammad Hatta, sering disebut-sebut perlambang ideal duet kepemimpinan bangsa. Sebuah Dwitunggal. Sukarno yang berasal dari suku dan pulau Jawa, berpadu dengan Hatta yang bersuku Minangkabau dari Sumatera. Sayangnya, Dwitunggal sudah berakhir bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Sebagai bangsa yang beraneka ragam dari segi suku bangsa dan daerah, perpaduan antara unsur Jawa-non Jawa ini kemudian menjadi semacam patron dalam pentas Pemilihan Presiden terutama pasca reformasi. Meski, di masa Orde Baru (orba), Soeharto tampak tak terlalu tertarik menerapkan ini. Selama menjadi Presiden, Soeharto berpasangan dengan 4 wakil dengan latar sesama suku Jawa ataupun dari Pulau Jawa yaitu Sultan Hamengku Buwono IX, Sudharmono, Try Sutrinso dan Umar Wirahadikusuma; sementara dari luar Pulau Jawa yaitu Adam Malik (dari Sumatera) dan Bachruddin Jusuf Habibie (dari Sulawesi).
Namun, walau Dwitunggal Sukarno-Hatta disebut ideal, toh, pasangan ini nyatanya berpisah juga. Apa sebab?
* * *
Beberapa versi menyebutkan perbedaan antara Hatta dan Sukarno sudah mencapai puncaknya. Sebuah alasan menarik disebut Mohammad Natsir (mantan Perdana Menteri dan pemimpin Masyumi) seperti diungkap oleh Joppie Lasut dalam tulisannya “Bukan Fundamentalis tapi Demokratis” dalam buku Mohammad Natsir, 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah (2008). Disebutkan, kalau tidak lama setelah Hatta mengundurkan diri, Natsir menanyakan alasan kenapa ia mengundurkan diri. “Saya tidak tahan lagi melihat perempuan itu,” jelas Hatta. Siapakah gerakan perempuan yang dimaksud Hatta? Dia adalah Hartini, istri kedua Sukarno. Ini bukan berarti bahwa Hatta tidak senang dengan tingkah dan perilaku Hartini. Yang dimaksud Hatta adalah ia tidak senang Sukarno berpoligami. Demikian tertera di halaman 114 buku itu.
Alasan di atas memang terlihat bersifat “pribadi”. Karena itu, mesti dibandingkan pula dengan sikap Hatta yang juga terkenal tidak ingin mencampur-adukkan masalah pribadinya dengan negara, plus, hubungan pribadi antara Hatta dan Sukarno yang sangat dekat dan akrab.
Bukan itu saja. Di antara sebab lain mundurnya Hatta menyebutkan, Hatta kesal karena salah seorang menteri yang korupsi justru diberi grasi oleh Presiden.
Namun, alasan “rasional” Hatta memilih bercerai dengan Sukarno, tampak dalam tulisannya berjudul Demokrasi Kita yang dimuat di majalah Pandji Masjarakat tahun 1960. Di situ terlihat kalau Hatta mengungkapkan sebab tamatnya riwayat dwitunggal karena sistem politik yang dipilih sejak Undang-Undang Dasar 1950 bersifat parlementer.
“Dalam Undang-Undang Dasar 1950 ditetapkan sistem kabinet parlementer. Dwitunggal Sukarno-Hatta dijadikan simbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang konstitusionil, yang tidak dapat diganggu-gugat. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Dan mulai saat itu, tamatlah pada hakekatnya sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia,” tulis Hatta.
Sistem parlementer memang memisahkan dua posisi politik tertinggi yaitu Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Tak berlebihan pula jika posisi Wakil Presiden yang hanya bersifat simbolik menjadi tidak diperlukan lagi. Hatta pun mendukung kepemimpinan Dwitunggal bukan tanpa sebab. Hatta melihat konteks waktu itu yang memerlukan kepemimpinan Presidensial yang kuat dalam stabil. “Lahirnya ide dwitunggal di waktu itu bukanlah suatu hal yang dibuat-buat, melainkan suatu kenyataan yang dikehendaki oleh keadaan,” tulis Hatta.
Hatta –yang dikenal berpikiran efisien dan mendetail– kemudian benar-benar melaksanakan ucapannya untuk mundur setelah Pemilu 1955 selesai. Hatta dua kali mengirimkan surat pengunduran diri ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu pada 20 Juli 1956 dan 23 Nopember 1956. Demikian isi surat Hatta ke DPR:
“Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi”.
Keputusan Hatta ini memang menyengat seluruh kalangan dan masyarakat. Tak heran, kalau DPR tak mau dengan segera menanggapinya sehingga Hatta harus mengirim surat keduanya. DPR baru memutuskan menerima pengunduran diri Hatta pada 30 Nopember 1956. Hatta pun resmi tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden sejak 1 Desember 1946. Keputusan resmi mengenai itu, baru diteken Sukarno sebulan lebih kemudian pada 5 Februari 1957 melalui Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957.
Cerai Sebelum Merdeka
Namun pemikiran Hatta soal Dwitunggal ini justru kelihatan berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Sukarno. Dalam biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2018), yang ditulis Cindy Adams, Sukarno sudah merasakan kalau dirinya sudah tidak lagi “Dwitunggal” dengan Hatta bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Sukarno berkisah, pada Maret 1945, Sukarno dan Hatta terbang ke Makassar untuk bertemu pembesar Jepang. Sebulan sebelumnya, Februari 1945, Jepang telah menyerah pada sekutu di Filipina. Di Makassar, Jepang menawarkan Sukarno untuk memilih sistem monarki dan menjadi raja. Sukarno dan Hatta sama-sama menolak. Namun, di soal bentuk negara, Sukarno dan Hatta berseberangan: Hatta menginginkan bentuk federal sementara Sukarno bentuk kesatuan.
“Hatta, yang selama masa pendudukan menjadi pendampingku yang baik, agaknya sekarang telah mencium, bahwa kami sudah dekat dengan kemenangan, dan karena itu ia kembali pada bentuk negara pilihannya dan tidak setuju dengan Sukarno. Hatta mendukung bentuk federal. Sukarno menghendaki Negara Kesatuan. Aku menyadari, ini adalah akhir dari kerja sama kami. Kami tidak lagi merupakan Dwitunggal,” kata Sukarno dalam biografinya.
Pasca mundurnya Hatta dan pecahnya Dwitunggal secara “de jure“, perbedaan Sukarno dan Hatta tak dapat lagi ditutup-tutupi. Tulisan Hatta, Demokrasi Kita, terang-terangan menyerang konsepsi dan praktik Demokrasi Terpimpin yang diusung Sukarno. Hatta bahkan sudah memakai kata “diktatur”.
“Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakjat yang terdjadi sekarang, dimana semua anggota ditundjuk oleh Presiden, lenjaplah sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan jang tertentu,” tulis Hatta dalam Demokrasi Kita.
Hamka, pengelola majalah Pandji Masjarakat yang menerbitkan tulisan Hatta itu pada 1960, mengatakan, gara-gara tulisan itu, Pandji Masjarakat dilarang terbit dan bahkan dilarang pula membaca, menyiarkan dan menyimpannya.
Mundurnya Hatta jelas membuat konstelasi politik nasional tidak stabil. Pemberontakan di daerah bermunculan seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perdjuangan Rakyat Semesta (Permesta/1957). Seperti diketahui, PRRI dideklarasikan pada 15 Februari 1958 di Sumatera Barat; kampung halaman Hatta. (*)
3 thoughts on “Dwitunggal Sukarno-Hatta, Cerai Sebelum Merdeka”