KITA lahir di bagian pinggir dunia. Tidak terlalu terpencil memang, tapi pinggir tetaplah pinggir. Di antara Eropa dan Amerika Serikat, siapalah kita ini? Di antara Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir hingga Iran, seberapalah Anda itu? Dibanding Korea Selatan, Jepang dan China, setinggi apakah kita? Disanding dengan Malaysia dan Singapura, seberapa lagak kita? Kita berada di pinggir sekali, pinggir yang berlumpur.
Dan inilah kita, di Medan, Sumatera Utara. Kita berada jauh dari Jakarta, pusat kekuasaan yang gegap-gempita. Keluar dari gerbang Bandara Sukarno-Hatta, nanti Anda bakal disambut jalan layang bertingkat-tingkat. Semakin dekat ke pusat kota, kemacetan membuat jalan semakin lambat. Di sana, Anda tak punya waktu untuk peduli dengan urusan orang lain. Di dalam kota, Anda tak punya kesempatan untuk berpikir ala desa, gaya kampung. Mungkin hanya membayang-bayang saja, teringat-ingat, tapi tak akan pernah keluar dari labirin kota yang membingungkan. Hanya hilir mudik.
Kita ini orang seberang pulau. Kita mesti menunggu kapal-kapal berlabuh untuk sampai ke tepian. Sebagian beruntung diterbangkan pesawat dari ibukota ke suatu daerah yang seharusnya disebut “anak-kota”. Waktu sudah dipersingkat dan karena itu pula Anda hanya mampu mengindera dengan subliminal; Anda menyerap secara tak sadar apa yang Anda lewati karena begitu cepatnya perjalanan itu. Anda tak tahu batas mana Lampung, Bengkulu, Jambi, Pekan Baru, Sumatera Barat dan Deliserdang, Sumatera Utara. Anda hanya tahu dengan persis dua tempat saja: Bandara Sukarno Hatta dan Kualanamu, Deliserdang. Semakin singkat perjalanan, kian simplisistis dia, hingga lupa detail Indonesia. Detail tentang kelok jalan, lembabnya hutan, aliran sungai di tepi jalan, hingga sawah yang akan menguning. Bagaimana mungkin dari pesawat Anda bisa melihat seorang anak menaiki kerbau lalu terjatuh ke kubangan lumpur di tengah sawah?
Tapi, kisah itu terlalu romantis. Kenyataan Indonesia, toh, tak juga seindah lagu Koes Plus, tanah kita tanah surga… Kita melintasi jalan rusak, berlapis pasir dan batu berbongkah dengan jurang menganga di sisinya. Kita melewati jembatan yang rapuh dan berlubang. Di pinggir jalan, kita melihat rupa rumah anak bangsa yang terkadang megah, namun terlampau banyak pula yang masih berdinding papan yang sudah lelah dimakan rayap.
Sampai di Kota Medan, ibukota provinsi, Anda masih belum akan berhenti. Rumah Anda bukan terletak di tengah kota yang mahal itu. Anda masih akan tetap berjalan melewatinya, menatap balai kota lama yang sudah menjelma menjadi hotel mewah yang tak mampu Anda diami. Anda menuju perbatasan kota dengan kabupaten karena di kawasan itu letak populasi kaum urban. Tanah kota tak terbeli, rumah kota tak terlunasi.
Beberapa yang berani mendiami pinggiran rel kota, pun bernasib sama, tersingkir entah atas nama apa. Mereka tak boleh mendiami tanah negara; kalimat itu ironi bukan? Warga negara tak boleh menempati tanah negara; betapa lucunya kalimat itu! Karena itu, pinggir adalah pilihan yang hanya berisi satu opsi.
Kata itu bisa berkembang lagi tergantung imbuhan: apakah “terpinggirkan”, “pinggiran”, hingga “meminggirkan”. Namun jangan lupa, dia kadang-kadang juga bisa bernada perintah, imperatif: “Pinggir!” (*)
Nirwansyah Putra
~ indhie