Mimpi untuk Sejahtera – indhie.com

Mimpi untuk Sejahtera

ilustrasi. [sumber foto: shutterstock]


Nirwansyah Putra
~ indhie


ORANG Indonesia punya mimpi; sejahtera. Tidak muluk-muluk sebenarnya. Sudahkah itu terealisasi? Sebagian. Sebagian ini pun masih ada ekornya: sebagian kecil atau sebagian besar? Kalau ceritanya adalah masih sebagian kecil saja yang sejahtera, maka sudah terjadi kesenjangan ekonomi dalam skala yang cukup masif. Dan itu berarti mimpi masih sekedar mimpi.

Saya tak ingin mengajukan data-data statistik soal ini. Bukan tak perlu. Tapi kadang-kadang, statistik membuat orang cenderung berpola pikir kuantitatif dan kemudian melihat manusia hanya dalam hitung-hitungan angka di atas kertas. Dia penting, tapi tidak untuk tulisan ini.

Beberapa orang malah terpaksa menghitung ulang hitungan statistik angka kemiskinan di Indonesia karena ditengarai tidak tepat. “Tidak tepat” itu kata yang halus sebenarnya. Itu kalau masih berprasangka positif bahwa tidak ada manipulasi angka statistik di sana. Pernah suatu kali, masyarakat dihebohkan oleh perbedaan angka kemiskinan versi pidato kenegaraan seorang presiden dengan versi lembaga statistik. Padahal, lembaga statistik itu bawahannya. Peristiwa itu memang sudah lewat tapi, ya, membekas.

Jadi, bagaimanapun canggihnya suatu pemerintahan ingin membungkus soal ketidaksejahteraan ini, mudah-mudahan akan terbongkar dengan sendirinya. Tapi, tulisan ini belum lagi selesai.



ilustrasi [sumber foto: techinasia]
Klausul penting dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang bercerita soal kesejahteraan itu agaknya yang krusial. Di sana ada kata “umum”: untuk memajukan kesejahteraan umum. Apakah “umum” itu merupakan keterangan tambahan (pelengkap) dari kesejahteraan ataukah dia merupakan objek. Kita bisa mengajukan pertanyaan, mengapa para penyusun Pembukaan UUD 1945 itu tidak memakai kata “rakyat” saja sehingga menjadi “untuk memajukan kesejahteraan rakyat”? Apalagi, kata “rakyat” dalam pembukaan UUD 1945 telah diulangi hingga beberapa kali.

Ketika kita membaca kalimat seperti ini “pertumbuhan ekonomi cukup tinggi”, kita seakan-akan digiring pada tafsir bahwa tingkat kesejahteraan kita sudah dan sedang oke-oke saja. Kalaupun belum oke seratus persen, tapi trennya cukup okelah, mungkin begitu.

Lagi, misalnya kita membaca kalimat “rupiah dan IHSG menguat” kita pun langsung terpesona bahwa kita sedang berada dalam trek kesejahteraan. Saya agak kaget ketika suatu media menulis akibat pencalonan seseorang dalam pentas politik mengakibatkan rupiah dan IHSG menguat. Nadanya optimis benar. Jangan-jangan nantinya ada pula media yang memberitakan kalau ada faktor penghubung antara majunya seorang kandidat dengan tren turunnya angka kemiskinan. Contoh judul beritanya mungkin begini: “Si Anu dicalonkan, angka kemiskinan cenderung turun.”

Mungkin latah. Tapi ada apa, ya? Apa ada? Begitu orang Medan suka bercanda.

Nah, bila Pembukaan UUD 1945 menegaskan tentang “kesejahteraan umum” dan tidak memakai kata “rakyat”, itu artinya disengaja oleh pembuatnya. Umum bermakna seluruhnya, semuanya, totalitas. Dia bukan sebuah generalisasi ataupun sebuah rata-rata. Walau 90% rakyat Indonesia sudah sejahtera, namun dia belum mencapai derajat “umum” yang diminta oleh konstitusi. Pendiri bangsa ini ‘kan tidak sedang bereksperimen ketika menulis itu. Artinya, kesejahteraan umum tidak bisa digeneralisasikan walaupun di negara ini nantinya hanya tinggal satu saja orang miskin. Adalah sesuatu yang rendah dan kejahatan, seandainya ada yang ingin membungkus substansi dengan asupan-asupan wacana yang sifatnya manipulasi. Mungkin saja dengan berlindung di balik ataupun memermainkan angka statistik dan menggiring backmind kita bahwa kita sudah sejahtera. Yang miskin “hanya”, pengangguran “hanya”… dan seterusnya.

Kesejahteraan umum adalah cita-cita yang tak pernah berhenti, berketerusan. Dia bukan sebuah khayalan, melainkan mimpi. (*)

Leave a Reply