ORANG suka benar menghitung-hitung. Tak cuma dalam kalkulasi bisnis, pendapatan per bulan, rumus matematika ataupun kali-kali utang setiap bulan, bahkan dalam ibadah pun kita diperkenalkan dan dibiasakan dengan hitungan. Shalat ada yang dua, tiga dan empat rakaat, atau sebelas hingga 23 rakaat, dan seterusnya. Puasa juga begitu, apalagi zakat. Itu masih ibadah yang wajib-wajib, belum lagi yang sunat. Rasa-rasanya, semua ada hitung-hitungannya.
Itu tidak cuma berlaku di dunia sini. Di alam akhirat kelak juga begitu. Surga dan neraka bertingkat-tingkat, 1, 2, 3, hingga 7. Demikian juga pahala dan dosa Anda. Bahkan, sebagian “waktu” peradilan di akhirat digunakan untuk menghitung pahala dan dosa. Penghitungan pahala bahkan bisa berkali-kali lipat, berderet-deret. Anda lihat dalam Al-Quran, satu-satunya kitab suci di dunia ini di mana hitung-hitungan soal warisan begitu sangat terperinci. Terciptanya alam semesta dan manusia juga punya hitungan waktu. Bahkan manusia itu sendiri merupakan kumpulan angka. Dua tangan, dua mata, satu hidung, tujuh lubang, sepuluh jari dan tiga ruasnya, enam meter usus, dan seterusnya.
Film The Matrix (1999) memvisualisasikan hubungan manusia dan angka bilang. Betapa manusia itu tak cuma hidup melainkan “tersesat” dalam angka-angka. Film itu menggambarkan kalau ruang dan waktu serta apa yang terjadi di dalamnya, dipenuhi dengan angka, kode, bilangan, dan simbol.
Jadi, dengan kodrati seperti itu, rasa-rasanya tak ada manusia yang tak bisa menghitung. Boleh jadi seorang anak manusia tak pernah mengecap pendidikan formal matematika, tapi dia tidak akan pernah silap bila disuruh menghitung uang. Apalagi, kalau uang itu memang punya dia.
Ah, bukankah kita memang dicipta oleh yang juga menampilkan dirinya dengan angka: Ahad?
* * *
Banyak yang mengatakan kalau Ramadhan merupakan bulan di mana manusia beristirahat dari aktivitasnya selama setahun dan kemudian lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tidak hanya istirahat secara batiniah yang kemudian memberi konsekuensi pada asupan ruhaniah, namun juga mengistirahatkan aktivitas fisiknya. Usus-usus yang biasanya terus bekerja di luar Ramadhan, maka dalam Ramadhan seperti sedang mengalami pembersihan. Artinya, Ramadhan menjadi bulan latihan bagi fisik dan ruhani karena implementasi riil dan dampak dari keberhasilan Ramadhan itu justru akan kelihatan pada sebelas bulan berikutnya.
Tapi ada juga yang menggambarkan sebaliknya; bahwa Ramadhan justru menjadi bulan pertarungan, sementara yang sebelas bulan itu adalah bulan latihannya. Bukankah masa latihan itu jauh lebih panjang daripada waktu pertandingannya itu sendiri. Dengan demikian, kalau dia sudah latihan beribadah selama sebelas bulan, maka dia tidak akan berat lagi beribadah di sebulan Ramadhan. Bila dia sudah melatih diri berpuasa di bulan non-Ramadhan, maka puasa Ramadhan menjadi ajang pembuktian sebenar-benarnya puasa dan ibadah lainnya. Karena itu, penyebutan Idul Fitri sebagai hari “kemenangan” mendapat pembenarannya. Itu hari penentuan hasil pertandingan selama sebulan penuh itu tadi.
Anda boleh setuju atau tidak. Karena yang tahu mengenai bagaimana kadar dan level ibadah Anda, toh, Anda sendiri dan tentunya, Allah semata. Sunyi benar: hanya Anda dan Tuhan. Hitunglah berdua-dua saja. (*)
Nirwansyah Putra
[indhie]