IBRAHIM membalikkan punggungnya dari tatapan seorang anak kecil dan ibunya, Ismail dan Hajar, di tengah-tengah gurun Hijaz. Yang bersama Hajar itu, nantinya, adalah seorang nabi yang memersembahkan hidupnya untuk disembelih ayahnya. Darinya pula suatu saat nanti diturunkan orang paling mulia dalam sejarah alam semesta, Muhammad.
Namun, Ismail hanya seorang manusia biasa. Ismail kecil merasa haus. Kerongkongannya dicekik panas. Adakah manusia yang tak merasa haus di tengah gurun?
Lagi-lagi Hajar. Perempuan yang menjadi istri kedua Ibrahim ini adalah pemeran utama dalam salah satu babakan sejarah terpenting umat manusia. Saya membayangkan sepasang kakinya telah penuh debu, bolak-balik hingga tujuh kali antara Shafa dan Marwa demi mencari sumber air. Keringatnya kian kering akibat dehidrasi. Tuhan memang tidak menulis skenario “a la surgawi” untuk Hajar, seperti yang dialami Maryam, ibu Isa. Maryam memeroleh makanan dari surga yang diantar langsung oleh para malaikat. Dia juga mengandung Isa tanpa melewati proses pernikahan, tanpa laki-laki. Cerita Maryam adalah sebuah mukjizat, keajaiban. Di luar hukum alam. Namun, tidak bagi Hajar.
Kisah Hajar digurat dengan penuh perjuangan, keringat, dan lelah tak berdaya. Manusiawi, hikayat nan perih dari seorang manusia. Tentu, Anda sudahlah tahu kalau pencarian Hajar itu ternyata bukan berakhir di ujung daratan Arabia, melainkan di dekat sepasang kaki mungil Ismail, anak yang ditinggalkannya tadi. “Zam, Zam…!” seru Hajar.
Pekikan Hajar ini bisa berarti “isi, isi…”, atau mungkin juga “melimpah, melimpah…”, bisa jadi “bendung, bendung”; atau arti lain yang memerlihatkan keterkejutan, kegembiraan, sekaligus semacam ketidakmenyangkaan melihat sesuatu yang begitu dicari-cari tiba-tiba muncul lebih dari ekspektasi sehingga tak ada persiapan untuk itu. Mungkin seperti “panik”, dalam arti yang menyenangkan, dan keharusan untuk melakukan sesuatu. Namun yang jelas, air itu begitu banyak, lebih dari cukup bukan hanya untuk mengatasi haus melainkan untuk masa-masa berikutnya.
Doa Ibrahim yang menyebutkan kalau dia telah menempatkan sebagian keturunannya di lembah yang tidak ada tanamannya dan memanjatkan agar diberikan rezeki dari buah-buahan, paling tidak menyiratkan “skenario” penemuan air itu sudah dituliskan. Bagaimana mungkin ada tanaman dan buah-buahan tanpa air?
Mata air itu digali dan lambat-laun menjadi sumur. Tak hanya mengaliri Ismail, Hajar dan kemudian Ibrahim, tetapi juga rombongan kafilah-kafilah tradisional yang melintas gurun Arab hingga Afrika, dan hingga kini, dan seterusnya diminum oleh seluruh umat manusia. Dia menjadi sumber hidup dan kehidupan.
Tak pernah ada cerita tentang kekuasaan yang aneh-aneh, politik haus kekuasaan yang menjijikkan, di situ. Semua boleh menikmatinya, secara bersama-sama. Hajar tak pernah ditulis mengangkat dirinya sebagai “Ratu Zamzam” walau dialah yang menemukan dan hidup di sekitar sumur itu. Dia bisa saja memagari sumur itu. Dan, tentu Anda pun mafhum apa makna air di tengah-tengah gurun, bukan? Hajar bisa jadi penguasa, bisa jadi kaya raya.
Namun tidak, kisah tentang Hajar bukanlah seperti Ratu Balqis atau pula permaisuri Fir’aun, ibu angkat Musa. Ismail pun tak pula menahbiskan dirinya Sang Pangeran, walau di dirinya mengalir darah dan kearifan Ibrahim, dan jangan lupa pula, dialah buyut Muhammad al-Mustafa. Dia tidak pula dikisahkan seperti Sulaiman putra Daud yang menjadi raja segala raja.
Hajar dan Ismail adalah kisah sunyi cinta ilahiah dan kemanusiaan yang terhormat. Dia seperti cerita pahlawan rakyat, yang tidak ditulis dengan tinta emas kekuasaan melainkan lantunan bibir-bibir rakyat yang polos, lurus, yang kemudian menjadi tembang pengantar tidur anak-anak. Kisah yang apa adanya. Ini adalah sebuah hikayat yang bercerita tentang hubungan manusia, yang menciptakan manusia, dan tempat hidup manusia, yang membuat Hajar dan Ismail tak merasa perlu memagari dirinya dengan makhluk lain di alam semesta lewat kekuasaan.
Kita hanya tahu, yang dilakukan Hajar itu, telah diabadikan sebagai salah satu ritual haji. Shalawat setiap anak manusia pun disampaikan ke mereka berdua. Suatu penghormatan yang luar biasa, begitu tinggi, dan mengharukan.
Ah, hingga kini, kita tidak pernah tahu kisah atau tembang apa yang diceritakan atau didendangkan Hajar untuk mengantar Ismail kecil tertidur pascapenemuan sumber mata air itu. Mereka hidup hanya berdua di sana; bersama sunyi, kecipak air, dan sebuah sumur. (*)
Nirwansyah Putra
ditulis Februari 2016 dan diedit kembali di Juli 2023.
~ bait | indhie