PERJUANGAN muslim Indonesia yang ingin pergi ke tanah suci jelas tidak mudah karena jarak yang sangat-sangat jauh. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan, berada di tengah samudra luas dengan segala kondisi yang ada, tidak sedikit dari mereka yang meninggal di tengah perjalanan karena kekurangan bekal makanan atau tidak kuat menghadapi rintangan serta perjalanan laut.
Walau sudah disinggung oleh Ibn Battuta dalam catatan perjalanannya, sejarah haji di Indonesia baru dapat diteliti melalui catatan-catatan pada abad ke-16 saat kerjasama perdagangan dengan Arab semakin marak. Dalam catatan Ibn Battuta, dia mengunjungi Samudra Pasai pada 1345. Waktu itu, Pasai dipimpin oleh Sultan al-Malik al-Zahir Jamaluddin.
Dalam buku Historiografi Haji Indonesia (2007), M Shaleh Putuhena menuturkan bahwa sejarah perkembangan jemaah haji asal Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkenalan Islam dengan penduduk di Indonesia. Pada abad VII, Samudra Hindia merupakan jalur sutra yang sangat ramai untuk rute Arab.
Salah satu pelabuhan nusantara yang sangat dikenal sebagai tempat persinggahan sementara jemaah haji Indonesia adalah pelabuhan yang terletak di Pasai, Aceh. Di sanalah berdiri kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Meurah Silu (1276 M), yaitu Kerajaan Islam Pasai. Dalam sejarah, Samudra Pasai sudah menjadi pelabuhan Internasional, tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang dari Cina, India, Timur Tengah, Arab dan Persia.
Pada tahun 1526 armada dari nusantara, khususnya dari Aceh, sudah memulai pelayarannya ke pelabuhan Jeddah untuk berdagang. Mereka kemudian banyak yang menetap di Haramain, Yaman, sembari menuntut ilmu agama. Disebutkan dalam buku Historiografi Haji Indonesia karya Shaleh Patuhena, pada tahun 1556 telah ada lima kapal besar asal Aceh yang berlabuh di Jeddah. Ulama Aceh yang berdatangan ke tanah Arab itu selain menimba ilmu ternyata juga manfaatkan waktunya untuk berhaji.
Menurut catatan Louis Barthema, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati juga diketahui pergi ke Makkah setelah kota kelahirannya, Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1521. Ia di sana selama tiga tahun. Selain berhaji, saat itu Sunan Gunung Jati juga tampil sebagai diplomat untuk meminta bantuan Dinasti Ottoman agar mengusir Portugis dari Pasai.
Sepanjang periode abad ke-16, para pedagang dan ulama tersebut kemudian membentuk komunitas orang-orang dari nusantara Indonesia di negeri asal Rasulullah tersebut. Komunitas ini yang kemudian menjadi titik awal semakin giatnya orang Aceh hingga Ternate yang secara bergantian mengunjungi negeri Arab.
Selepas menimba ilmu di Makkah dan Madinah, para ulama sekaligus pedagang tersebut kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Masyarakat nusantara pun diberikan ilmu dan informasi soal ibadah haji. Kala itu pemahaman masyarakat tentang Islam masih minim.
Kejayaan kerajaan Islam di nusantara membuat pusat-pusat pemerintahan dari ujung Aceh hingga Ternate di wilayah Timur sebagai pelabuhan embarkasi haji pada kuartal akhir abad ke-17. Hal ini membuat kesempatan mereka yang ingin pergi ke Makkah untuk berlayar ke Jeddah menjadi lebih terbuka.
Perkembangan mendasar dimulai pada tahun 1826. Dalam catatan pemerintah Belanda berjudul Resolutie van den Gouveumeur Generaal van Nederlandsche Indie yang diterbitkan Oktober tahun 1825, 200 orang pribumi yang berasal dari Batavia dan residen lainnya menghadap polisi Belanda untuk meminta paspor jalan ibadah haji. Mereka melaporkan ingin berhaji bersama kapal Magbar milik Syaikh Umar Bugis.
Sejak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1860-an semakin mempermudah dan mempersingkat waktu perjalanan jemaah haji Indonesia karena dapat langsung menghubungkan laut Mediterania dengan laut Merah.
Kemajuan di bidang pelayaran mendukung aktifitas jemaah yang akan menunaikan ibadah haji. Pada saat itu ada beberapa perusahaan pelayaran Belanda yang mengangkut jemaah haji Indonesia, di antaranya: Nederland Rotterdamsche, dan Blue Funnel Line.
Tahun 1895 tercatat 11.788 jemaah haji Indonesia yang berangkat ke tanah suci. Kemudian jumlah tersebut naik menjadi 14.234 orang pada tahun 1910. Kemudian pada 1915 mengalami penurunan karena mahalnya barang-barang impor. Pada Juni hingga awal Agustus 1945 sekitar 5.000 jemaah haji Indonesia (Hindia-Belanda) pulang ke Tanah air dengan lima kapal dari pemerintah Belanda.
Kembali dari Mekkah, warga Negara Indonesia semakin taat menjalankan ibadah dan juga militan. Pada saat Indonesia dijajah, tokoh-tokoh di Indonesia menjadikan haji sebagi momentum untuk mempersatukan masyarakat muslim melawan penjajahan. Sebagai upaya pencegahan, pemerintah Hindia-Belanda mulai membuat kebijakan atau aturan di tahun 1825, 1831, 1859, yang bertujuan membatasi keberangkatan jamaah. Selain itu pemerintah Hindia-Belanda melakukan pemantauan terhadap pergerakan jemaah haji Indonesia dengan membuka kantor konsulat di Jeddah pada tahun 1872, untuk mengatur warga Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji.
KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912, menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberangkatan haji secara modern di Indonesia. Dahlan lalu mendirikan Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh KH M Sudjak. Dahlan juga bernegosiasi dengan pemilik perusahaan pelayaran Belanda untuk urusan haji ini. Namun, Dahlan menganggap bahwa perusahaan kolonial itu menangguk untung terlampau banyak dari jamaah Indonesia dengan mutu pelayanan yang diskriminatif terhadap kaum pribumi. Dahlan pun berusaha mengumpulkan dana untuk membeli kapal dan menyelenggarakan pemberangkatan haji sendiri.
Pada 1922, Volksraad mengadakan perubahan dalam ordinasi haji yang dikenal dengan Pilgrim Ordonasi 1922 yang menyebutkan bahwa bangsa pribumi juga dapat mengusahakan pengakutan calon haji. Pelgrims Ordonnantie Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927-Nomor 508 seperti telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Staatsblad 1931 Nomor 44 tentang Pass perjalanan haji dan Staatsblad 1947 Nomor 50. Akhirnya, dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 di tahun 1930, merekomendasikan untuk membangun pelayaran sendiri bagi jemaah haji Indonesia.
Menurut Snouck Hurgronje (1857-1936), lama sebelum Indonesia jatuh ke tangan jajahan pemerintah Belanda, sudah banyak kaum warga Indonesia yang melakukan ibadah haji. Sebagian dari mereka bermukim disana untuk sementara waktu atau untuk sepanjang hidupnya.
Sementara Martin Van Bruinessen dalam bukunya Seeking Knowledge and Merit:Indonesia on the Haj (1990), pada akhir abad ke-19 atau awal abad 20, jumlah jamaah haji asal Indonesia berkisar antara 10%- 20% dari seluruh jamaah haji asing. Sebelum kemerdekaan, di tahun 1920 jumlah jamaah haji asal Indonesia mencapai 40%. Walau angka ini harus diverifikasi ulang, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan adaptasi masyarakat Indonesia yang begitu cepat terhadap ajaran keislaman.
Pada tahun 1948, setelah Indonesia merdeka KH Mohammad Adnan sebagai delegasi Indonesia bertemu dengan Raja Arab Saudi, Ibnu Saud. Sejak saat itu penyelenggaran haji Indonesia resmi dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tahun itu juga bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.
Sejak tahun 1952, pemerintah RI melalui Menteri Agama membentuk perusahaan pelayaran Muslim untuk memfasilitasi transportasi umat Islam yang akan melukan ibadah haji. Di tahun 1964 dibentuk perusahaan pelayaran dibawah bendera PT Arafat, satu-satunya transportasi laut milik pemerintah yang menangani masalah angkutan jemaah haji. Pada 1976, PT Arafat dinyatakan pailit. Mahalnya transportasi laut dibandingkan dengan transportasi udara menjadi salah satu alasannya. Pada 1979, keberangkatan haji diputuskan melalui pesawat udara. (*)
penulis: nirwansyah putra
sumber: dirangkum dari berbagai sumber
catatan: Tulisan ini terdiri dari tiga artikel yaitu Haji, Rute Pertemuan Dunia; Pajak Haji, Perdagangan Hingga Perampokan; dan Perjalanan dan Militansi Haji dari Indonesia.
2 thoughts on “Perjalanan dan Militansi Haji dari Indonesia”