Nirwansyah Putra
~ indhie
Saya ingin mengartikan “jahiliyah” sebagai kebodohan. Tidak sekedar “bodoh” yang kurang lebih berimplikasi individual semata, melainkan kata “kebodohan” itu mengandung sifat yang massif. Idem dengan perbedaan antara kata lapar dan kelaparan. Ada tekanan kualitas dan intensitas di sana.
Karena itu pula, adalah tidak mengherankan bila mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW adalah sebuah kitab dan kata yang pertama kali turun adalah “bacalah!”. Itu antitesis dari jahiliyah.
Pasca ini, kata “ilmu” menjadi kata yang selalu diucap oleh awam. Dia membumi, diucap yang pintar maupun yang bodoh. Saya harus menekankan kata “awam” di sini, karena ada kesan juga kalau kata “ilmu” mempunyai kasta yang “elit”. Orang “berilmu” itu elit tapi orang bodoh tidak.
Jadi, adalah sebuah paradoks ketika umat Islam belakangan ini selalu dikata-katai, diejek, sebagai umat yang tak berilmu, bodoh dan terbelakang, padahal kata “ilmu” dibumikan dan sangat diistimewakan oleh Islam dan umatnya. Pasti ada kejadian dan manipulasi yang sedemikian canggih sehingga Islam diidentikkan dengan keterbelakangan, kuno dan, ya, silakan lagilah menambahkan ucapan pejoratif kepada Islam dan umat Islam itu.
Tapi memang, ada kesalahpahaman juga terhadap kata “ilmu” ini. Saya ingin mencontohkan pada kata “majelis ilmu”. Beberapa guru agama kita cenderung meletakkannya pada sebuah kumpulan, kelompok ataupun orang-orang yang berkumpul membincangkan masalah keagamaan “semata-mata”.
Kita perlu meletakkan tanda petik di kata “semata-mata” itu. Itu bentuk protes ketika agama telah direduksi menjadi sekedar perbincangan yang bersifat ritual semata. Itu bentuk sekuler nan parah yang terwarisi hingga sekarang. Seolah-olah, yang dimaksud dengan kata “majelis ilmu” itu hanyalah mereka yang sedang belajar masalah fiqh, syar’i dan yang lain-lain itu. Sementara mereka yang duduk tekun di sekolah dan kampus-kampus teknik ataupun ekonomi, tak pula disebut sedang duduk di “majelis ilmu”.
Bahkan, ada pula yang memberi puding ekstra, bahwa mereka yang memelajari ilmu fiqh lebih banyak pahalanya dari mereka yang pintar matematika atau administrasi. Duh.
Dan itu berlanjut. Ada semacam monopoli definisi terhadap konsep “ulama” ataupun “ustadz”, bahwa mereka yang bisa masuk ke dua golongan itu hanyalah mereka-mereka yang memelajari ilmu-ilmu agama saja. Bahkan, reduksi itu sedemikian mengkhawatirkan ketika yang boleh disebut ulama dan ustadz, ya, mereka-mereka yang berceramah di masjid, mushola ataupun pengajian-pengajian. Sehingga, profesor matematika, fisika hingga sosiologi, tak punya kelayakan disebut “ulama”.
Kebalikannya, semacam ada perlawanan pula dari sisi yang lain itu. Mereka yang belajar “ilmu-ilmu umum” membuat predikat lain, misalnya kata “ilmuwan”, “intelektual” dan “cendekiawan”. Dan, memang jarang sekali kita dengar ada kata-kata seperti ini: “ilmuwan fiqh”, “intelektual hadis” dan seterusnya.
Dalam kajian sosial, beberapa orang langsung berpendapat kalau ada masalah status sosio kultural yang harus dipertahankan di sana. Itu berarti sudah menyangkut politik. Politik adalah kekuasaan.
Itu aneh. Aneh benar dan akan sangat menggelikan pula bila kaum terdidik, intelektual dan mereka-mereka yang ikhlas belajar demi ilmu apapun itu, kemudian terlibat perebutan status “ulama”. Apa sebenarnya maksud Tuan dengan “ulama“?
Yakinlah, Tuan, itu tidak penting. (*)